REPUBLIKA.CO.ID, COX'S BAZAR -- Delegasi Pemerintah Myanmar memulai pembicaraan repatriasi dengan para pemimpin Rohingya di sebuah kamp pengungsi Bangladesh pada Sabtu (27/7). Banyak minoritas Muslim yang mengkhawatirkan keselamatan mereka jika kembali ke rumah.
Tim Myanmar, yang dipimpin oleh pemimpin delegasi U Myint Thu, tiba di Cox's Bazar pada Sabtu di tengah pengetatan keamanan di kamp-kamp tersebut.
Komisioner pengungsi Bangladesh, Mohammad Abul Kalam mengatakan, delegasi itu mengunjungi Kutupalong, pemukiman pengungsi terbesar di dunia. Di sana mereka membahas pemulangan para pemimpin Rohingya selama beberapa jam.
"Kedua belah pihak tampak positif tentang hal itu dan diskusi akan dilanjutkan besok (Ahad)," katanya dilansir the Guardian, Ahad (28/7).
Salah satu pemimpin Rohingya yang bergabung dalam perundingan, Dil Mohammad mengatakan, perundingan itu berjalan dengan baik. Ia menegaskan kembali permintaan kepada Myanmar untuk mengakui Rohingya sebagai kelompok etnis.
"Kami berharap diskusi ini akan bermanfaat. Kami memberi tahu mereka bahwa kami tidak akan kembali kecuali kami diakui sebagai Rohingya di Myanmar," kata Dil Mohammad.
Myanmar menyangkal kewarganegaraan Rohingya dan memilih menyebut mereka sebagai 'Bengali'. Sebutan itu menunjukkan bahwa mereka imigran ilegal dari Bangladesh.
Sekitar 740 ribu Rohingya melarikan diri dari penumpasan 2017 oleh militer Myanmar, dan hidup dalam kondisi kotor di kamp-kamp di distrik perbatasan tenggara Bangladesh Cox's Bazar.
Kedua negara menandatangani perjanjian repatriasi pada November 2017. Akan tetapi sejauh ini tidak ada Rohingya yang secara sukarela kembali ke Myanmar.
Kamp-kamp besar telah memicu ketegangan antara negara-negara tetangga. Bangladesh, menyalahkan Myanmar atas keterlambatan memulangkan para pengungsi.
Dhaka menyatakan tidak akan memaksa Rohingya untuk pergi. Sementara Myanmar menghadapi tekanan internasional agar Rohingya kembali ke Rakhine dan memberikan mereka hak kewarganegaraan.