Senin 29 Jul 2019 10:20 WIB

Negosiasi Kewarganegaraan Rohingya Masih Buntu

Pengungsi Rohingya ingin diakui sebagai kelompok etnis di Myanmar.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Ani Nursalikah
Warga muslim rohingya antre mendapatkan bantuan makanan dari sejumlah lembaga zakat yang tergabung dalam Indonesian Humanitarian Alliance (IHA) di Sittwe, Myanmar.
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Warga muslim rohingya antre mendapatkan bantuan makanan dari sejumlah lembaga zakat yang tergabung dalam Indonesian Humanitarian Alliance (IHA) di Sittwe, Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Para pengungsi Rohingya di Bangladesh menolak kembali ke Myanmar, kecuali diakui sebagai kelompok etnis di negara mereka. Hal ini disampaikan para pejabat Myanmar yang mengunjungi kamp-kamp pengungsian di Cox's Bazar.

Para pejabat Myanmar sudah dua kali mengunjungi kamp pengungsi Rohingya di Cox's Bazar. Dalam kunjungan kedua yang dipimpin oleh Sekretaris Permanen Urusan Luar Negeri Myanmar Myint Thu, mereka berupaya meyakinkan para pengungsi Rohingya untuk memulai proses pemulangan.

Baca Juga

Para pejabat Myanmar mengadakan pembicaraan dengan 35 pemimpin Rohingya di Cox's Bazar pada akhir pekan lalu. Pada hari pertama, Sabtu (27/7), pertemuan yang berlangsung selama tiga jam tersebut berakhir tanpa kesepakatan.

Negosiasi kemudian dilanjutkan pada Ahad (28/7) yang berlangsung selama 3,5 jam, dan tetap berakhir dengan buntu. Para pemimpin Rohingya menginginkan Myanmar mengakui mereka sebagai kelompok etnis dengan hak kewarganegaraan Myanmar sebelum dipulangkan.

"Mereka (pemerintah Myanmar) masih belum setuju mengubah Undang-Undang Kewarganegaraan 1982 yang kontroversial untuk memberikan hak kewarganegaraan kepada Rohingya dan mereka ingin kami kembali sebagai migran baru atau pendatang baru," kata salah satu dari 35 perwakilan Rohingya yang enggan disebutkan namanya, dilansir Anadolu Agency, Senin (29/7).

Myanmar menandatangani perjanjian pemulangan pengungsi Rohingya dengan Bangladesh pada 23 November 2017. Pada November lalu, langkah awal untuk memulai proses pemulangan pengungsi Rohingya terhenti karena, mereka tidak ingin kembali ke Myanmar. Badan pengungsi dan kelompok bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengaku khawatir dengan keselamatan Rohingya, jika mereka dipulangkan ke Myanmar.

"Kami tidak ingin putus asa. Tim delegasi Myanmar berkomitmen melakukan dialog dengan orang-orang Rohingya lagi di Bangladesh mengenai masalah yang tertunda setelah berkonsultasi dengan pemerintah mereka," ujar Komisarais Bantuan dan Repatriasi Pengungsi di Bangladesh, Abul Kalam Azad.

Azad menambahkan, delegasi Myanmar telah mencatat semua tuntutan Rohingya dalam pertemuan tersebut. Para delegasi Myanmar akan kembali ke negaranya untuk berdiskusi dengan pemimpin mereka terkait tuntutan Rohingya tersebut.

Azad mengatakan, Mynamar telah memberikan jaminan pengungsi Rohingya akan mendapatkan keamanan dan keterbukaan akses. Apalagi, United Nations Population Fund (UNFPA) dan United Nations Development Program (UNDP) telah bekerja di Myanmar sehingga keamanan para pengungsi Rohigya bisa terjamin.

"Tapi, tanpa hak kewarganegaraan, jaminan tersebut tidak akan cukup meyakinkan bagi Rohingya untuk kembali ke Myanmar," kata Azad.

Azad menambahkan, Myanmar mengusulkan akan memberikan kartu kepada pengungsi Rohingya untuk mengidentifikasi mereka. Sebelumnya Bangladesh mempertimbangkan memindahkan pengungsi Rohingya ke sebuah pulau di Teluk Bengal. Namun beberapa pihak menyatakan keprihatinan pemindahan tersebut dapat menimbulkan krisis baru sebab pulau di Teluk Bengal rentan terhadap angin topan.

Salah satu pemimpin Rohingya Dil Mohammed mengatakan, mereka tidak akan kembali ke Mynamar kecuali mendapatkan tuntutan keadilan, perlindungan internasional, dan hak kembali ke desa dan tanah asli mereka terpenuhi. Mohammed mengatakan, etnis Rohingya ingin kembali ke tanah asal mereka, namun tidak mempercayai iming-iming pemerintah Myanmar dan meminta perlindungan internasional.

"Kami menginginkan kewarganegaraan, kami menginginkan semua hak kami. Kami tidak mempercayai mereka. Kami akan kembali jika ada perlindungan. Kami ingin kembali ke tanah kami sendiri, (kami) tidak ingin berakhir di kamp ini. Kami memberi tahu mereka kami tidak akan kembali kecuali kami diakui sebagai etnis Rohingya di Myanmar," kata Mohammed.

Koordinator kelompok hak asasi manusia Free Rohingya Coalition Nay San Lwin mengatakan, para pejabat Myanmar mengunjungi Bangladesh untuk mengurangi tekanan internasional. Lwin pesimistis dialog mengenai kewarganegaraan Rohingya akan mencapai kesepakatan.

"Saya pikir, kita tidak akan mendapatkan apa pun dari dialog dengan rezim genosida. Rezim mereka belum meninggalkan kebijakan genosida terhadap Rohingya," kata Lwin.

Laporan Lembaga Kebijakan Strategis Australia (ASPI) menyatakan, berdasarkan citra satelit menunjukkan tidak ada tanda-tanda rekonstruksi di sebagian besar pemukiman yang akan ditempati oleh para pengungsi dan tampak masih ada kerusakan. Penelitian tersebut memetakan statu dari 392 permukiman Rohingya yang rusak atau hancur selama insiden kekerasan pada 2017. Penelitian menemukan bahwa tidak ada tanda-tanda rekonstruksi terhadap lebih dari 320 pemukiman Rohingya yang rusak maupun hancur.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement