Selasa 30 Jul 2019 09:51 WIB

China Ingin Hong Kong Tindak Keras Peserta Demonstrasi

China menilai kekerasan dalam demonstrasi sebagai tindakan radikal.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nur Aini
Pengunjuk rasa menggunakan payung untuk melindungi diri dari gas air mata di Hong Kong, Ahad (28/7).
Foto: AP Photo/Vincent Yu
Pengunjuk rasa menggunakan payung untuk melindungi diri dari gas air mata di Hong Kong, Ahad (28/7).

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- China menyerukan kepada Hong Kong untuk menghukum para pengunjuk rasa yang telah melakukan kekerasan dan pengrusakan. Sejak Juni lalu, aksi demonstrasi di Hong Kong semakin memanas dan menjadi tantangan paling signifikan bagi otoritas Beijing. 

"Tidak ada masyarakat yang akan mentolerir kekerasan yang merajalela," ujar juru bicara Urusan Dewan Negara bagian Hong Kong dan Makau, Yang Guang dalam konferensi pers, dilansir Guardian, Selasa (30/7).

Baca Juga

Yang Guang menambahkan, kekerasan dalam aksi protes merupakan tindakan radikal dan telah merusak kemakmuran serta stabilitas Hong Kong. Dia mengatakan, situasi paling berbahaya di Hong Kong adalah kejahatan dan kekerasan yang belum dihentikan secara efektif. Oleh karena itu, dia mendorong agar Hong Kong secara tegas menghukum pelaku tindak kekerasan. 

"Tugas terpenting Hong Kong saat ini adalah untuk secara tegas menghukum kejahatan dengan kekerasan menurut hukum, memulihkan stabilitas sosial sesegera mungkin, dan menjaga sistem hukum Hong Kong yang baik," kata Yang. 

Polisi Hong Kong bentrok dengan ribuan pengunjuk rasa ketika mereka berusaha untuk memasuki kantor perwakilan utama China. Kantor perwakilan China menjadi target utama bagi demonstran yang didominasi oleh anak muda. Mereka marah atas intervensi China terhadap politik dan hukum Hong Kong.

Inggris mengembalikan Hong Kong ke pemerintahan China pada 1997. China menetapkan Hong Kong berada di bawah formula "satu negara, dua sistem". Dengan sistem tersebut, Hong Kong dijanjikan kebebasan yang luas termasuk kebebasan berpendapat dan politik.

"Kami menyebut ini zaman revolusi Hong Kong. Gerakan ini dipicu oleh penolakan Cina untuk menghormati kebebasan Hong Kong dan kegagalan pihak berwenang untuk mendengarkan suara rakyat," ujar salah satu demonstran, K Lee, Senin (29/7).

Dalam aksi demo lanjutan pada Ahad (28/7) lalu, ribuan warga Hong Kong memadati jalan utama. Mereka mengenakan pakaian hitam dan meneriakkan slogan-slogan anti-polisi. Beberapa warga memegang spanduk bertuliskan, "We rise as one, we fight as one" dan "Stop violence".

Ribuan pengunjuk rasa menuju ke distrik perbelanjaan Causeway Bay, sementara ribuan lainnya bergerak ke Kantor Penghubung Pemerintah Cina. Ratusan polisi anti-huru hara telah berjaga ketat di sekeliling kantor penghubung tersebut.

Namun, bentrokan tak dapat dihindarkan ketika para pengunjuk rasa memaksa masuk ke kantor perwakilan pemerintah China. Polisi akhirnya menembakkan gas air mata dan peluru karet untuk mengendalikan kerumunan massa. Setidaknya 23 orang terluka dalam kejadian tersebut. Polisi juga menangkap 11 demonstran.

Awalnya aksi protes tersebut dilakukan untuk menentang rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi, yang akan mengirim pelaku tindak kejahatan ke China daratan untuk diadili. Kemudian tuntutan demonstran semakin meluas, termasuk pengunduran diri pemimpin Hong Kong, seruan demokrasi penuh, dan penyelidikan independen terhadap kekerasan yang dilakukan polisi kepada para demonstran. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement