REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Ratusan pengunjuk rasa Hong Kong memblokir layanan kereta api pada jam sibuk, Selasa (30/7) pagi. Hal itu menyebabkan jadwal komuter menjadi kacau dan menghambat warga Hong Kong lainnya yang akan beraktivitas.
Para pengunjuk rasa memblokir pintu kereta dan memaksa ratusan orang keluar dari stasiun kereta api untuk mencari transportasi umum alternatif. Selama melakukan pemblokiran mereka meneriakkan, "Bebaskan Hong Kong" dan "Revolusi". Pemblokiran kereta api tersebut merupakan buntut dari aksi protes terkait rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi yang berlangsung sejak Juni.
"Kami tidak tahu berapa lama kami akan tinggal di sini, kami tidak memiliki pemimpin, karena Anda dapat melihat ini adalah gerakan massa sekarang," ujar seorang demonstran, Sharon yang mengenakan topeng.
"Ini bukan niat kami untuk membuat orang tidak nyaman, tetapi kami harus membuat pihak berwenang mengerti mengapa kami protes. Kami akan melanjutkan ini selama dibutuhkan," kata Sharon melanjutkan.
Operator kereta api, MTR Corp menyatakan, beberapa layanan kereta api telah terganggu. Sehingga, membuat penumpang terpaksa harus mencari moda transportasi umum lainnya.
Perkelahian kecil pecah antara pengunjuk rasa dan pengguna layanan komuter. Para penumpang komuter marah karena layanan kereta api terhenti.
"Sungguh merepotkan dan menyebalkan, sungguh. Saya terburu-buru untuk bekerja, mencari nafkah. Maukah Anda memberikan gaji Anda kepada saya", Kata seorang pria berusia 64 tahun bermarga Liu, yang nerupakan pengguna komuter.
Pemblokiran layanan kereta api tersebut merupakan aksi protes terbaru setelah demonstrasi di bandara internasional yang dikuasai Cina pada Jumat, dan protes yang berujung kekerasan di akhir pekan lalu.
Aksi protes yang terjadi selama hampir dua bulan merupakan krisis politik terburuk bagi Hong Kong. Aksi ini telah menjadi salah satu tantangan berat untuk para penguasa Partai Komunis di Beijing.
Sementara, China kembali menegaskan dukungannya kepada Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam. Selain itu, China juga mendukung polisi untuk menentang dan menghukum pemrotes yang melakukan kekerasan.