REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Pasukan AS di Afghanistan menolak temuan dan laporan jumlah korban perang Afghanistan. Sebelumnya, Misi Bantuan PBB di Afghanistan (UNAMA) melaporkan hampir 4.000 warga sipil menjadi korban meninggal dan terluka dalam perang di Afghanistan.
Juru bicara pasukan AS di Afghanistan, Sonny Leggett menolak temuan dan laporan yang diungkapkan oleh UNAMA. Menurutnya, pengumpulan bukti oleh pasukan AS dinilai lebih cermat dan akurat. Namun dia tidak memberikan angka terkait jumlah korban sipil. Dia mengatakan, pasukan AS terus bekerja dengan pasukan keamanan Afghanistan untuk meminimalisir korban sipil.
"Kami mengikuti standar akurasi dan akuntabilitas tertinggi, dan selalu berupaya untuk menghindari kerugian bagi warga sipil yang bukan pejuang," kata Leggett.
AS sedang menegosiasikan kesepakatan untuk menarik pasukanya dengan imbalan jaminan keamanan oleh Taliban, termasuk perjanjian bahwa Afghanistan tidak akan menjadi rumah bagi para kelompok teroris. Taliban menolak seruan gencatan senjata hingga semua pasukan asing meninggalkan Afghanistan. Hingga berita ini diturunkan, pemerintah Afghanistan dan Taliban belum memberikan komentar terkait temuan data dari PBB tersebut.
Setidaknya 3.812 warga sipil Afghanistan tewas dan terluka dalam perang melawan kelompok-kelompok militan di paruh pertama 2019. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan, jumlah korban tewas dan luka-luka tersebut mengalami peningkatan cukup besar.
Misi Bantuan PBB di Afghanistan (UNAMA) dalam laporannya mengatakan, serangan darat dan bentrokan paling banyak menimbulkan korban sipil, diikuti oleh serangan bom dan serangan udara. Taliban dan ISIS menewaskan 531 warga Afghanistan dan melukai 1.437 lainnya antara 1 Januari hingga 30 Juni 2019. Kelompok garis keras tersebut sengaja menargetkan 985 warga sipil, termasuk pejabat pemerintah, pekerja kemanusiaan, sesepuh suku, dan cendekiawan agama.
Sementara, pasukan pro-pemerintah menewaskan 717 warga Afghanistan dan melukai 680 dalam enam bulan hingga 30 Juni 2019. Jumlah tersebut meningkat 31 persen dari periode yang sama pada 2018. Setidaknya 144 wanita dan 327 anak-anak terbunuh dan lebih dari 1.000 terluka di Afghanistan. Serangan udara menyebabkan 519 korban sipil, 150 di antaranya adalah anak-anak.
"Para pihak yang terlibat konflik dapat memberikan penjelasan yang berbeda untuk tren terbaru, masing-masing dirancang untuk membenarkan taktik militer mereka sendiri," kata Kepala Hak Asasi Manusia UNAMA Richard Bennett.
Bennet menambahkan, untuk mengurangi korban sipil pihak yang berperang harus mematuhi hukum humaniter internasional. Selain itu, mereka juga harus mengurangi intensitas pertempuran sehingga penderitaan warga sipil Afghanistan dapat berkurang.
"Faktanya upaya untuk menghindari kerusakan sipil tidak hanya dengan mematuhi hukum humaniter internasional, tetapi juga dengan mengurangi intensitas pertempuran, sehingga akan mengurangi penderitaan warga sipil Afghanistan," kata Bennett.
Pembicaraan antara Taliban dan Amerika Serikat (AS) untuk mengakhiri perang di Afghanistan yang telah berlangsung selama 18 tahun, telah memasuki tahap penting. Negosiator AS menargetkan, kesepakatan damai dapat tercapai sebelum 1 September 2019.
Meski sudah ada upaya diplomatik, perang terus berkobar di Afghanistan. Hal itu memaksa warga sipil hidup di bawah ancaman dan kerap menjadi sasaran. Mereka terjebak dapam pertempuran dan menjadi korban serangan udara yang tidak disengaja oleh pemerintah Afghanistan dan pasukan pemimpin NATO.
AS dan pasukan NATO lainnya ditempatkan di Afghanistan sebagai bagian dari misi untuk melatih, membantu, dan memberi nasihat kepada pasukan Afghanistan. Mereka juga melaksanakan operasi anti-terorisme.