REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Kementerian Luar Negeri Israel dilaporkan telah menyiapkan rencana untuk menyuap sejumlah negara agar memindahkan kedutaan besarnya ke Yerusalem. Hal itu diungkap surat kabar Israel, Yisrael Hayom.
Dalam laporannya, Yisrael Hayom menyebut bahwa rencana suap itu diusulkan Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz. Menurut surat kabar itu, Katz mengatakan bahwa ada negara-negara yang berpotensi setuju secara prinsip untuk memindahkan kedutaan besarnya untuk Israel ke Yerusalem. Namun, mereka mengharapkan imbalan dari Tel Aviv.
Honduras dan El Savador adalah dua negara yang bersedia memindahkan kedutaan besarnya ke Yerusalem. Namun, kedua negara itu meminta Israel membuka kedutaan besar di ibu kotanya masing-masing.
Selain kedua negara tersebut, masih terdapat sejumlah negara yang siap memindahkan kedutaan besarnya ke Yerusalem. Namun, mereka mengharapkan insentif keuangan sebagai imbalan. Ada pula yang meminta proyek pembangunan dan bantuan ekonomi. Terdapat juga negara yang mau memindahkan kedutaan besarnya asalkan Israel menanggung seluruh biaya relokasi.
Menurut laporan Yisrael Hayom, semua permintaan tersebut diabaikan. Pada Desember 2017, Amerika Serikat (AS) telah mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. AS menjadi negara pertama di dunia yang melakukan hal tersebut. Keputusan Washington pun menuai protes keras, terutama dari negara-negara Arab. AS dinilai telah melanggar berbagi resolusi internasional terkait Yerusalem.
Namun, keputusan itu tak ditarik. Pada Mei 2018, AS resmi memindahkan dan membuka kedutaan besarnya untuk Israel di Yerusalem. Rakyat Palestina, baik di Tepi Barat maupun Jalur Gaza, mengutuk langkah tersebut. Di Gaza, rakyat Palestina menggelar aksi demonstrasi di dekat pagar perbatasan Israel selama berpekan-pekan, untuk menentang keputusan AS.
Langkah AS memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Yerusalem diikuti beberapa negara, seperti Guatemala dan Paraguay. Namun, Paraguay memutuskan untuk merelokasi kedutaan besarnya dari Yerusalem ke Tel Aviv. “Paraguay ingin berkontribusi pada intensifikasi upaya diplomatik regional untuk mencapai perdamaian yang luas, adil, dan langgeng di Timur Tengah,” kata Menteri Luar Negeri Paraguay Luis Castiglioni pada September 2018.
Keputusan Paraguay segera dikecam Israel. “Pandangan Israel dengan kerasnya keputusan Paraguay yang tidak biasa yang akan mengaburkan hubungan antara kedua negara,” kata Kementerian Luar Negeri Israel dalam sebuah pernyataan.
Pada Desember tahun lalu, Australia mengakui Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel. Canberra pun mengatakan akan membuka kantor perdagangan dan pertahanan di kota tersebut. Kendati demikian, Perdana Menteri Australia Scott Morrison menyatakan masih berkomitmen untuk mengakui masa depan negara Palestina dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.
Sekretaris Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Saeb Erekat mengecam keputusan Australia. "Sejak awal kami telah melihat keputusan Pemerintah Australia mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel sebagai salah satu tempat politik domestik yang picik, mengarahkan kebijakan yang tak bertanggung jawab dan bertentangan dengan perdamaian serta keamanan dunia," ujar Erekat.
Ia menilai, status Yerusalem seutuhnya harus ditentukan melalui negosiasi. "Seluruh Yerusalem tetap menjadi masalah status final untuk negosiasi, sementara Yerusalem Timur, di bawah hukum internasional, merupakan bagian integral dari wilayah Palestina yang diduduki," katanya.