Selasa 30 Jul 2019 18:50 WIB

Filipina Paling Mematikan Bagi Aktivis Lingkungan 2018

Ini pertama kalinya Filipina masuk papan atas daftar tersebut.

Rep: Lintar Satria/ Red: Ani Nursalikah
(Ilustrasi) Bendera filipina
Foto: tangkapan layar
(Ilustrasi) Bendera filipina

REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Organisasi pengawas hak asasi manusia Global Witness melaporkan Filipina menjadi negara yang paling mematikan bagi aktivis lingkungan dan lahan pada 2018. Tahun lalu setidaknya tercatat ada 30 aktivis yang tewas dibunuh.

Dilansir di Aljazirah dalam laporan yang dipublikasikan, Selasa (30/7), Global Witness melaporkan 18 persen dari 164 pembunuhan yang berkorelasi dengan lingkungan terjadi di Filipina. Ini pertama kalinya Filipina masuk papan atas daftar tersebut sejak Global Witness mulai mengumpulkan pembunuhan yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan dan lahan.

Baca Juga

"Serangan-serangan jahat terhadap pembela lingkungan dan lahan masih terjadi, walaupun ada momentum tumbuhnya gerakan lingkungan di seluruh dunia," kata juru kampanye senior Global Witness, Alice Harrison, dalam pernyataannya, Selasa (30/7).

Dalam laporan Global Witness disebutkan, tahun lalu rata-rata setiap pekan ada tiga orang yang tewas dibunuh saat sedang melindungi tanah dan lingkungan dari berbagai industri, seperti industri pertambangan, penebangan, dan bisnis pertanian lainnya.

"Ini ironi yang sangat brutal sementara sistem peradilan masih rutin memungkinkan pembunuh pembela lingkungan berjalan bebas, mereka juga memberikan label para aktivis sendiri sebagai teroris, mata-mata atau penjahat berbahaya," kata Harrison.

Sembilan petani yang berkerja di ladang tebu era-kolonial di pusat pulau Negros termasuk aktivis lingkungan yang dibunuh di Filipina tahun lalu. Korban insiden Oktober 2018 itu termasuk empat orang perempuan dan dua orang remaja.

Serikat buruh Federasi Nasional Pekerja Gula menuduh pemilik lahan memerintahkan pembunuhan tersebut. Satu bulan kemudian pengacara para petani Benjamin Ramos juga tewas dibunuh setelah menerima sejumlah ancaman pembunuhan.

Ia menjadi pengacara ke-34 yang dibunuh sejak Presiden Rodrigo Duterte berkuasa pada 2016. Pada Maret 2019, total korban di Pulau Negros terus bertambah menjadi 14 petani.

Juru bicara Duterte mengatakan insiden itu operasi polisi yang 'sah'. Walaupun kelompok hak asasi manusia menggambarkannya sebagai 'pembantaian'.

Global Witness mengatakan selain pembunuhan pembungkaman juga dilakukan dengan berbagai taktik mulai dari penangkapan, ancaman pembunuhan, gugatan hukum dan penyebaran berita bohong.

Pelapor khusus PBB Victoria Tauli-Corpuz membela suku asli di Filipina karena itu pemerintah Duterte menyebut sebagai 'teroris'. "Ini sebagai balasan untuk saya karena berbicara menentang pelanggaran hak asasi suku asli di negara saya, selama berbulan-bulan, saya hidup dengan ancaman, dan tidak dapat pulang dengan aman," kata Tauli-Corpuz.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement