REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Pemerintah Turki akan mengirim tim pengamat ke Provinsi Xinjiang, China. Hal itu diumumkan setelah menteri luar negeri kedua negara bertemu pada Selasa (30/7).
Turki adalah satu-satunya negara Muslim yang secara rutin mengkritik China atas kebijakan yang diterapkannya di Xinjiang. Hal itu pun disuarakan Ankara saat menghadiri sesi di Dewan Keamanan PBB.
Pada Februari lalu, Turki mengatakan kebijakan Chinayang diterapkan terhadap warga Uighur memalukan. “Kebijakan asimilasi sistematis Pemerintah Chinaterhadap warga Turki Uighur itu memalukan bagi umat manusia,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Turki Hami Aksoy.
Ankara tak menyangsikan laporan tentang adanya penahanan paksa terhadap satu juta Muslim Uighur di Xinjiang. Mereka ditempatkan di kamp konsentrasi dan menjadi target indoktrinasi Pemerintah China. Bahkan ada pula yang menjadi sasaran penyiksaan.
Sementara itu Pemerintah Provinsi Xinjiang telah mengatakan sebagian besar penghuni kamp reedukasi dan vokasi di wilayahnya telah keluar dan menandatangani kontrak kerja dengan perusahaan lokal. “Sebagian besar lulusan dari pusat pelatihan kejuruan telah diintegrasikan kembali ke masyarakat. Lebih dari 90 persen lulusan telah menemukan pekerjaan yang memuaskan dengan pendapatan yang baik,” kata Gubernur Xinjiang Shohrat Zakir dalam konferensi pers di Beijing, dilaporkan laman Aljazirah, Selasa (30/7).
Pada kesempatan itu, Zakir enggan menyebutkan berapa banyak peserta yang mengikuti pendidikan di pusat-pusat vokasi di Xinjiang. Dia hanya menyatakan program itu adalah pendekatan yang efektif dan perintis untuk melawan terorisme.
Pemerintah China berulang kali membantah adanya penahanan terhadap satu juta Muslim Uighur di kamp konsentrasi di Xinjiang. Menurutnya, apa yang dibangun di Xinjiang adalah pusat reedukasi dan pelatihan vokasi. China mengklaim kehadiran pusat tersebut penting untuk menghapus kemiskinan di Xinjiang. Beijing pun menyatakan para peserta telah menandatangani perjanjian menerima pelatihan vokasi tersebut.