REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Iran menyatakan siap berdialog dengan Arab Saudi. "Jika Saudi siap berdialog, kami selalu siap berdialog dengan negara tetangga kami," kata Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif seperti dikutip kantor berita IRIB, Rabu (31/7).
Selama ini, kata Zarif, pemerintahnya tak pernah menutup pintu dialog. "Kami juga tak akan pernah menutup pintu dialog tersebut," kata Zarif menegaskan. Iran dan Saudi terlibat dalam ketegangan yang lebih dalam.
Hal ini terjadi pascaserangan yang menyebabkan kerusakan enam kapal tanker di Selat Hormuz pada 12 Mei. Saudi menuding Iran sebagai pelakunya. Saudi menyatakan serangan tersebut mengancam keamanan navigasi internasional dan pasokan minyak dunia.
Saudi juga mendesak Dewan Keamanan PBB untuk segera mengambil sikap atas peristiwa itu. Serangan terhadap kapal-kapal tanker berbendera Uni Emirat Arab (UEA) dan Norwegia itu berlangsung di tengah penjatuhan sanksi ekonomi oleh Amerika Serikat terhadap Iran.
Penjatuhan sanksi merupakan tekanan agar Iran membatasi aktivitas nuklir serta menghentikan program rudal balistiknya. Saudi, Norwegia, dan UEA telah melakukan penyelidikan awal secara bersama.
Hasil laporan itu telah dipresentasikan ke Dewan Keamanan PBB pada awal Juni lalu. Dalam laporan itu disebutkan kapal tanker mereka kemungkinan diserang menggunakan ranjau, yang secara magnetis melekat pada lambung kapal masing-masing.
Menurut laporan awal ketiga negara, ranjau itu ditempelkan oleh penyelam terlatih yang dikerahkan dari kapal cepat. UEA meyakini, informasi intelijen tingkat tinggi dibutuhkan untuk melakukan serangan semacam itu.
Pasalnya, pengetahuan mendetail tentang desain kapal diperlukan agar ledakan ranjau tak sampai mengakibatkan kapal tenggelam. Dalam laporan tersebut, ketiga negara belum mencantumkan identitas negara yang mengatur serangan itu.
Kendati demikian, Duta Besar Saudi untuk PBB Abdallah al-Mouallimi meyakini Iran sebagai dalangnya. "Kami yakin tanggung jawab atas serangan ini ada di pundak Iran," ujarnya seusai mempresentasikan laporan awal di Dewan Keamanan PBB, dikutip the Guardian.
Secara terpisah, kemarin, Wakil Kanselir dan Menteri Keuangan Jerman Olaf Scholz menyatakan, dirinya skeptis atas permintaan AS agar Jerman bergabung dalam misi militer bersama di Teluk Hormuz. Sebelumnya, Korea Selatan dan Inggris menyatakan siap bergerak ke sana.
Sehari sebelumnya, Kedutaan AS di Berlin menyatakan, AS secara remis meminta Jerman bergabung dengan Prancis dan Inggris dalam misi mengamankan Hormuz dan memerangi agresi Iran di perairan tersebut. "Saya sangat skeptis tentang hal itu," kata Scholz kepada Televisi ZDF. Dalam pandangannya, sangat penting menghindari eskalasi militer di kawasan. Misi militer di Hormuz, menurut dia, justru berisiko melahirkan konflik lebih besar.
"Itulah mengapa saya pikir hal itu bukanlah ide yang bagus," kata Scholz. Ia juga menegaskan, kesepakatan nuklir internasional dengan Iran pada 2015 harus tetap dipertahankan. Berlin melihat hal itu sebagai pilihan terbaik untuk mencegah Iran mengembangkan bom nuklir.
Norbert Roettgen, sekutu Kanselir Angela Merkel dan anggota blok konservatif dalam pemerintahan Merkel, meyakini Jerman memang tak semestinya bergabung dalam misi di Selat Hormuz yang dipimpin AS. "Situasi ini membutuhkan respons Eropa," katanya.
Mantan kanselir Gerhard Schroeder pun memiliki pandangan yang sama. "Operasi pimpinan AS bakal menambah tingkat eskalasi di kawasan dengan cepat," katanya kepada surat kabar Rheinische Post. n Kamran Dikarmareuters ed: ferry kisihandi