REPUBLIKA.CO.ID, AMMAN -- Delegasi Amerika Serikat (AS) yang dipimpin oleh penasihat senior Gedung Putih Jared Kushner mengadakan pembicaraan dengan Raja Yordania Abdullah II perihal cara menghidupkan kembali proses perdamaian Timur Tengah, Rabu (31/7).
Raja Abdullah menegaskan kembali pembentukan negara Palestina dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya, berdampingan dengan Israel merupakan satu-satunya cara menyelesaikan krisis yang telah lama terjadi. Hal ini disampaikan pada sebuah pernyataan dari pengadilan kerajaan Yordania.
Raja juga mengatakan setiap rencana perdamaian perlu dilaksanakan sesuai dengan Inisiatif Perdamaian Arab 2002. Ini menyerukan Israel menarik kembali dari semua tanah yang didudukinya pada 1967 dengan imbalan hubungan normal Israel-Arab.
Amerika sedang berupaya menyelesaikan perincian rencana pembangunan ekonomi 50 miliar dolar AS yang diusulkan untuk Palestina, Yordania, Mesir, dan Lebanon. Utusan Timur Tengah Jason Greenblatt dan perwakilan khusus AS untuk Iran sekaligus penasihat senior untuk menlu AS Brian Hook menjadi bagian dari delegasi. Mereka juga akan mengunjungi Israel, Mesir, Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab (UEA).
Analis politik Yordania, Osama al-Sharif mengatakan meski posisi Yordania begitu jelas, namun masih belum diketahui apa yang ditawarkan Kushner di bidang politik.
"Kami hanya tahu posisi Yordania. Kami tidak tahu apa yang diusulkan Kushner kepada Raja," kata al-Sharif.
Itu posisi yang sama dengan bagian dunia lainnya, Rusia, China, Uni Eropa dan negara-negara Arab dalam resolusi KTT Arab terbaru. Mereka menegaskan kembali Inisiatif Perdamaian Arab sebagai tolok ukur serta resolusi PBB.
Penasihat Gedung Putih sekaligus menantu Presiden AS Donald Trump Jared Kushner. Kushner menginisiasi konferensi di Bahrain untuk membicarakan upaya mengangkat ekonomi negara-negara di Timur Tengah melalui investasi global.
"Kami tidak tahu komponen politik apa yang ditawarkan Kushner. Kami tahu sedikit dari keputusan sepihak yang (Presiden AS Donald) Trump ambil dari dua tahun berkaitan dengan Yerusalem, upaya memangkas dana UNRWA, dan hak kembali warga Palestina. Posisi sepihak ini telah mendahului komponen politik karena mereka adalah masalah status akhir yang perlu dinegosiasikan antara Palestina dan Israel. Jika masalah ini tidak lagi dibahas, lalu apa yang akan dibicarakan?" ujar Al-Sharif.
Pengamat Arab telah melihat rencana ekonomi AS yang diusulkan oleh Kushner dengan kecurigaan. Ini juga menandakan masalah bagi Yordania karena gagal mengatasi masalah-masalah utama, seperti negara Palestina yang merdeka, pendudukan Israel, dan hak Palestina kembali ke rumah tempat mereka melarikan diri atau diusir setelah berdirinya Israel pada 1948.
Yordania menampung jutaan warga Palestina yang datang ke negara itu dalam dua gelombang. Mereka hadir setelah berdirinya Israel dan setelah Perang Enam Hari 1967, saat Israel menduduki Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Gaza.
Negara yang sebagian besar padang pasir itu memiliki sedikit sumber daya, dan begitu bergantung pada dana internasional. Ini termasuk satu miliar dolar AS per tahun dari Washington. Abdullah juga telah berulang kali mengesampingkan konfederasi dengan Palestina atau melepaskan hak asuh atas situs-situs suci Yerusalem, menyebutnya dengan 'garis merah'.
Al-Sharif mengatakan, Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi akan memberi Kushner masalah serupa ketika mereka bertemu di Kairo. Abdullah mengunjungi el-Sisi baru-baru ini untuk memastikan kedua pemimpin Arab sepakat.
"Setidaknya untuk saat ini, Mesir telah mengirim pesan yang tidak ingin terlibat dalam rencana perdamaian Trump pada tahap ini dan menegaskan kembali posisi umum Arab bahwa harus ada negara Palestina di Tepi Barat dan Gaza dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Kushner akan bertemu dengan Sisi dan kita tidak tahu pesan seperti apa yang akan keluar dari Mesir," kata Al-Sharif.
Yordania dan Mesir merupakan negara Arab yang telah menandatangani perjanjian damai dengan Israel. Di Amman, protes baru-baru ini dilakukan terhadap sebuah kesepakatan tersebut.