Jumat 02 Aug 2019 06:33 WIB

China Larang Warganya di Beberapa Kota Kunjungi Taiwan

Taiwan menyatakan protes keras dan mengutuk langkah terbaru China

Red:
abc news
abc news

Turis yang bepergian sendiri dari puluhan kota di China tak bisa lagi mengunjungi Taiwan, karena ketegangan di antara Beijing dan Taipei yang terus meningkat.

Poin utama:

• Taiwan menyatakan protes keras dan mengutuk langkah terbaru China

• Keputusan itu mungkin terkait dengan Pemilihan Presiden Taiwan pada Januari, kata para ahli

• China seringkali menggunakan pariwisata sebagai senjata diplomatik mereka

 

Pada hari Rabu (31/7/2019), Departemen Kebudayaan dan Pariwisata China membuat pengumuman mengejutkan bahwa pihaknya akan menangguhkan izin perjalanan individu yang diajukan wisatawan China dari 47 kota -termasuk Beijing dan Shanghai -berlaku efektif 1 Agustus, yang berarti hanya kelompok wisata terorganisir saja yang akan diizinkan untuk mengunjungi Taiwan.

Pernyataan itu mengatakan penangguhan tersebut terkait dengan "perkembangan hubungan lintas selat saat ini" tetapi tak merinci lebih lanjut.

Pada Rabu (31/7/2019) malam, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Hua Chunying, tetap bungkam mengenai topik tersebut, meskipun diminta tiga kali untuk menjelaskan keputusan mereka dalam sebuah konferensi pers reguler.

Menanggapi pengumuman tersebut, Dewan Urusan Daratan Taiwan menyatakan protes keras dan mengutuk langkah terbaru China untuk membatasi perjalanan, menambahkan bahwa Taipei akan membahas masalah ini dengan Beijing.

Ketegangan meningkat antara Beijing dan Taipei pada bulan lalu, di saat AS menyetujui kemungkinan penjualan tank, rudal dan peralatan terkait sebesar $ AS2, 2 miliar (atau setara Rp 28 triliun) ke Taiwan.

Sebagai tanggapan, China telah memeringatkan Amerika Serikat "untuk tidak bermain api" dan mengancam akan memberikan sanksi kepada perusahaan AS yang menjual senjata ke Taiwan.

Media lokal mengutip keterangan yang disampaikan Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen, baru-baru ini di Amerika Serikat dan pernyataannya yang blak-blakan tentang protes Hong Kong, sebagai kemungkinan alasan penangguhan perjalanan tersebut.

 

Namun terlepas dari pengumuman yang mengejutkan itu, dosen studi China, Mark Harrison, mengatakan kepada ABC bahwa keputusan itu "terlalu murahan" untuk menjadi reaksi terhadap penjualan senjata yang diajukan - yang sebenarnya sudah ditanggapi Beijing - dan sebenarnya merupakan penangguhan program kunjungan perorangan perdana. yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 2011.

"Pemerintah China telah menyampaikan sikap kepada AS tentang kunjungan Presiden Tsai, sehingga tidak mungkin keputusan pariwisata terkait langsung dengan kunjungan Tsai, kecuali sebagai bagian dari kalkulus kebijakan yang lebih luas," katanya.

Dr Harrison percaya bahwa keputusan itu kemungkinan terkait dengan Pemilihan Presiden Taiwan pada tahun 2020, dan mengingat waktunya yang spesifik, keputusan itu kemungkinan sudah dipertimbangkan cukup lama.

"Ini mungkin menjadi bagian dari pemikiran luas tentang 'apa yang bisa dilakukan China untuk bisa campur tangan dalam pemilihan itu'," kata Dr Harrison.

Ia menambahkan bahwa langkah itu akan memungkinkan Beijing untuk memberi kandidat presiden pilihan mereka, yang juga Walikota Kaohsiung -yakni Han Kuo-yu, sebuah situasi yang bisa diselesaikannya.

"Ini adalah tindakan terkalibrasi yang berusaha menghindari pukulan balik terhadap Beijing yang bisa mencederai kandidat presiden yang mereka harapkan untuk menang," katanya.

"Itu memang memberi Han Kuo-yu kesempatan, dan meskipun ini masih sangat awal, sejauh ini ia sudah menemui beberapa hambatan dalam kampanyenya."

Kampanye partai-partai besar telah dimulai, dengan Walikota Taipei dari jalur independen, Ko Wen-je, mengumumkan sebuah partai politik baru, Partai Rakyat Taiwan, minggu ini.

 

Pariwisata dijadikan senjata

Pengumuman Beijing untuk menangguhkan perjalanan individu ke Taiwan bukan pertama kalinya mereka menggunakan pariwisata sebagai senjata diplomatik.

China sebelumnya juga memberlakukan larangan terhadap turis China ke negara kecil Pasifik, Palau - salah satu dari 17 sekutu Taiwan yang tersisa di seluruh dunia - yang dilaporkan membuat hotel-hotel di sana kosong dan sebuah maskapai penerbangan mengalami krisis.

Awal tahun ini, media Pemerintah China juga mengklaim turis China meninggalkan Selandia Baru karena keputusannya melarang raksasa telekomunikasi China, Huawei, beroperasi di negara itu.

Namun tak seperti Palau, Dr Harrison percaya Taiwan akan bisa mengatasi dampak dari kemungkinan jumlah wisatawan yang menurun dari China daratan, mengingat diversifikasi di pasar pariwisata Taiwan.

"Ini adalah keputusan yang ditargetkan untuk menghentikan kunjungan wisata individual mengingat Beijing akan tahu bahwa dampak ekonominya tak akan sebesar itu," katanya.

"Jadi mereka tampaknya berusaha menemukan cara untuk mengatasi kampanye Pemilu dan campur tangan dalam politik Taiwan dengan cara yang tak terlalu memusuhi warga Taiwan tetapi masih membuat pengaruh."

Namun, beberapa ahli memiliki pandangan yang berbeda. Seorang ahli mengatakan kepada South China Morning Post bahwa larangan Beijing menimbulkan penurunan 700.000 kedatangan turis selama enam bulan ke depan dan menelan biaya kerugian sebesar $ NT28 miliar (atau setara Rp 9 triliun).

Izin yang dikeluarkan untuk turis individual sebelum Kamis (1/8/2019) dilaporkan masih berlaku, tetapi langkah tersebut bisa berdampak pada turis yang telah memesan perjalanan solo dan belum mendapatkan izin.

Terlepas dari potensi ketidaknyamanan, ada reaksi patriotik kompak dari netizen China terhadap penangguhan perjalanan itu.

Salah satu pengguna Weibo menyerukan Beijing untuk "mengambil kembali Taiwan" karena hal itu akan menjadi "hadiah besar bagi ulang tahun ke 70 ibu pertiwi kita", merujuk pada peringatan 70 tahun berdirinya Republik Rakyat China pada 1 Oktober.

"Kapan saya bisa membawa kartu identitas pribadi saya untuk bepergian ke wilayah negara saya sendiri?" tanya pengguna lain.

Beberapa netizen juga mengecam keputusan Beijing. Seorang pengguna Twitter bernama Backfire mengatakan "[Pemerintah] tak boleh mengganggu hak seseorang untuk bepergian dengan bebas dengan menerapkan pendekatan administratif".

Simak berita terkait studi, kerja, dan tinggal di Australia hanya di ABC Indonesia dan bergabunglah dengan komunitas kami di Facebook.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement