Pada tahun pertama saya tinggal di kota besar yang macet ini, saya sebenarnya tidak terlalu peduli dengan polusi udara. Tapi bayi saya mulai menderita batuk-batuk.
Keluargaku baru saja tiba dari sebuah negara dengan udara bersih dan segar. Paru-paru kami pun penuh udara semacam itu.
Tatkala pesawat kami mulai menurun dari cakrawala dengan langit biru menuju selimut asap tebal berwarna coklat, tadinya saya mengira ada kebakaran.
Namun memang begitulah udara Jakarta selama ini.
Dua hari kemudian, bayi laki-laki kami itu mulai terbangun tengah malam karena batuk. Sebenarnya ini yang biasa saja dialami anak berusia 15 bulan.
Itu terjadi sekitar enam minggu lalu.
Tapi hampir setiap malam sejak itu, kami selalu terbangun tengah malam, biasanya selama beberapa jam, dan mencoba menenangkannya, memberinya air, atau apa saja untuk meringankan batuknya.
Saya pun semakin terobsesi dengan kualitas udara Jakarta.
Sekarang pun saya jadi rajin memonitor kualitas udara begitu bangun di pagi hari.
Di rumah, saya memasangi pemurni udara di setiap kamar dan menutupi hampir setiap jendela dan pintu.
Mungkin kami termasuk di antara sedikit yang beruntung di kota ini yang mampu melakukan hal itu. Kami juga membawa bayi kami ke Bandung, Bali dan dalam waktu dekat ke Australia, untuk meringankan batuknya.
Tapi bagi kebanyakan warga Jakarta, tampaknya tidak banyak pilihan. Mereka haarus menghadapinya.
Polusi meningkat di saat yang ganjil
Menurut data AirVisual, selama dua bulan terakhir, Jakarta hampir selalu menempati peringkat 10 besar kota yang udaranya paling tercemar di dunia.
Selama tiga hari berturut-turut dalam minggu ini, Jakarta mendapat predikat kota paling berasap di dunia.
Anehnya, polutan paling berbahaya, yang dikenal sebagai PM 2,5 yaitu partikel yang lebih kecil dari 2,5 mikron, atau sekitar 25 kali lebih tipis dari rambut manusia, justru terdeteksi melonjak di saat periode tenang.
Jakarta biasanya menikmati langit biru di hari-hari sekitar lebaran ketika jutaan orang meninggalkan kota ini untuk mudik. Tapi tahun ini berbeda.
Bulan lalu, Jakarta beberapa kali mengalami tingkat polusi udara tertinggi justru di Minggu pagi, ketika ramai digelar kegiatan car-free day yang melarang kendaraan bermotor di kawasan tertentu.
"Data meningkat mulai dari jam 12:00 malam sampai jam 9 pagi," ujar Bondan Andriyanu dari Greenpeace Indonesia, yang aktif memantau tingkat polutan PM 2,5.
"Ini jadi bukti bahwa ketika kita bicara sumber polusi udara, bukan hanya berasal dari transportasi," kata Bondan.
Data resmi menunjukkan bahwa transportasi menyebabkan 75 persen polusi udara di Jakarta. Tapi itu data yang diterbitkan pada tahun 2012.
Sejak itu belum ada data resmi lainnya yang dirilis untuk umum.
"Entah mengapa mereka berhenti mengumumkannya. Sekarang malah terjadi perdebatan dari mana datangnya polusi udara ini?" tambahnya.
Kota tersedak, warga menggugat
Di Rumah Sakit Anak Pasar Minggu, Jakarta Selatan, dokter Ardentry prihatin melihat hasil rontgen pada pasien anak-anak.
Dia mengatakan sebagian pasien yang datang ke kliniknya mengalami masalah pernapasan, dan tampaknya semakin memburuk.
"Saya mengamati hal ini selama beberapa bulan terakhir," kata dr Ardentry kepada ABC News.
"Anak-anak yang datang ke rumah sakit dengan masalah bernapas dan demam, paru-paru mereka menunjukkan bintik-bintik dan infiltrasi yang lebih jelas dan signifikan dibandingkan pada bulan-bulan sebelumnya sebelum musim kemarau," jelasnya.
Meski tidak ada pembuktian ilmiah sebagai penyebab polusi udara yang memburuk, tapi kabut asap jelas bukan hal yang membantu.
Pekan ini, sekelompok warga Jakarta membawa masalah ini ke pengadilan, dan menuntut Presiden Joko Widodo dan Gubernur Anies Baswedan untuk segera bertindak meningkatkan kualitas udara.
"Kami berharap pemerintah menjalankan tugasnya seperti diamanatkan UU, yaitu mereka harus menjaga kualitas udara agar aman dan sehat," kata Nelson Simamora, salah satu penggugat.
Penggugat lainnya, Veronica, berharap adanya informasi terpercaya kualitas udara Jakarta dan cara terbaik melindungi putrinya yang berusia enam tahun, yang menderita asma.
"Kalau pagi sangat buruk. Semakin sulit bagi anak saya itu untuk bernapas," katanya.
"Saya tidak terlibat dalam masalah lingkungan. Saya bukan aktivis. Saya hanya ingin tahu lebih banyak dari pemerintah. Saya rasa saya berhak untuk tahu," katanya.
Simak beritanya dalam Bahasa Inggris di sini.