REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Ketegangan akibat sengketa dagang Korea Selatan (Korsel) dan Jepang meningkat. Foto 12 Juli lalu memajang tulisan boikot produk Jepang di sebuah toko di Seoul, Korsel. Tulisan berbunyi, "Kami tidak menjual produk Jepang."
Semangat memboikot produk Jepang makin meluas di Korsel sejak Jepang memperketat ekspor produk teknologi tinggi ke Korsel mulai 1 Juli. Jepang menyebutkan, pembatasan ini karena ada alasan keamanan.
Produk yang dibatasi adalah materi untuk memproduksi semikonduktor dan layar tampil, yang selama ini menjadi produk andalan ekspor utama Jepang ke Korsel. Boikot bisa makin parah setelah Jepang dijadwalkan menghapus Korsel dari daftar daerah tujuan ekspor yang mendapat keringanan khusus pada Jumat (2/8).
Aksi boikot juga dilakukan di bidang pariwisata. Lee Kyung Eon (26 tahun), misalnya, rela membayar penalti 135 dolar AS karena membatalkan tiket perjalanan ke Jepang. Ia bergabung dengan warga Korsel dalam gerakan boikot produk Jepang.
"Kami berniat melakukan langkah untuk tidak membantu Jepang meski ini langkah kecil," kata Lee di Bundang, selatan Seoul. "Banyak orang yang mengatakan bahwa kami melakukan hal yang baik."
Warga Korsel yang marah menyerbu media sosial seperti Instagramdan platform lainnya. Mereka sengaja mengunduh pembatalan tiket perjalanan mereka ke Jepang serta berbagi informasi tentang perusahaan Jepang yang beroperasi di Korsel.
Perusahaan pariwisata terbesar di Korsel, Hana Tour, mengatakan, jumlah pesanan kunjungan ke Jepang merosot. Kini hanya ada 400 hingga 500 pesanan per harinya dari 1.000 hingga 1.200 perjalanan pada akhir Juli.
Toko dan tempat penjualan barang kebutuhan sehari-hari juga menunjukkan penjualan sejumlah produk pangan Jepang merosot. Bahkan, sejumlah toko kecil tidak lagi menjual produk kebutuhan sehari-hari asal Jepang.
Namun, boikot produk Jepang bukan pertama kalinya di Korsel. Biasanya boikot tidak berlangsung lama. Namun, warga Korsel berharap aksi mereka setidaknya bisa menyampaikan pesan akan adanya krisis. (ed:yeyen rostiyani)