REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Aksi mogok massal melumpuhkan transportasi umum di Hong Kong, Senin (5/8). Aksi tersebut menyebabkan 200 jadwal penerbangan dibatalkan dan menjadi kekacauan baru atas gelombang aksi protes yang terjadi sejak Juni lalu.
Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam berbicara kepada media untuk pertama kalinya sejak aksi protes yang terjadi berturut-turut selama dua pekan. Lam memperingatkan, aksi protes maupun aksi mogok massal merupakan tantangan bagi kedaulatan Cina dan mendorong Hong Kong ke dalam situasi yang berbahaya.
Aksi tersebut telah membuat perekonomian Hong Kong yang dikenal sebagai pusat keuangan Asia menjadi karut marut. "Mereka mengklaim bahwa mereka menginginkan revolusi, dan untuk memulihkan Hong Kong, tindakan ini telah jauh melampaui tuntutan politik awal mereka," ujar Lam.
Dalam konferensi pers pertamanya sejak 22 Juli, Lam mengatakan, aksi protes tersebut merupakan tindakan ilegal yang dapat mengancurkan stabilitas dan kemakmuran Hong Kong. Dia juga menyebut, aksi itu dapat membuat Hong Kong terjerembab dalam situasi yang sangat berbahaya.
"Tindakan ilegal ini menantang kedaulatan negara kita dan membahayakan 'satu sistem, dua negara', akan menghancurkan stabilitas dan kemakmuran Hong Kong. Aksi ini mendodong kota kami, kota yang kita semua cintai ke ambang situasi yang sangat berbahaya," kata Lam.
Aksi mogok massal tersebut menimbulkan kekacauan transportasi publik pada Senin pagi. Layanan kereta api, bus, dan kereta Airport Express untuk ditangguhkan. Beberapa aktivis memblokir kereta api yang sudah bersiap untuk berangkat meninggalkan stasiun. Para pengunjuk rasa tersebut menahan pintu kereta api agar tetap terbuka.
Sementara itu, kemacetan mewarnai jalur lalu lintas di seluruh Hong Kong, terutama jalur yang menuju jantung pusat bisnis. Sedangkan, jalan menuju arteri utama Hong Kong tampak lumpuh.
Penyiaran publik RTHK mengatakan, Cathay Pacific dan maskapai domestik lainnya seperti Hong Kong Airlines terkena dampak yang cukup signifikan. Aksi mogok massal dan demonstrasi diketahui terjadi di tujuh distrik.
Sejumlah pemilik toko lebih memilih untuk menutup bisnis mereka dan ikut berpartisipasi dalam aksi mogok massal tersebut. Salah satunya adalah Mark Schmidt (49 tahun). Dia ikut bergabung dalam aksi mogok massal karena tidak puas dengan pemerintahan saat ini.
"(Pemerintah) menjadikan polisi sebagai kambing hitam dan menciptakan situasi menjadi tak tertahankan bagi semua orang yang tinggal di sini. Jadi, itulah salah satu alasan kami bergabung dalam aksi mogok," kata Schmidt.
"Kehilangan sedikit uang sekarang bukan masalah, (dibandingkan) dengan kehilangan semua yang dulu dimiliki kebebasan Hong Kong," kata Schmidt menambahkan.
Sementara, beberapa pengunjuk rasa lainnya menuding Lam sebagai pemicu krisis karena mengabaikan sentimen publik. Mereka berjanji akan terus melanjutkan gerakan mereka, hingga pemerintah mendengarkan tuntutan para pengunjuk rasa.
"Saya pikir pemerintah tidak melakukan apa pun untuk menyembuhkan masyarakat. Mereka tidak memberikan solusi untuk menyelesaikan masalah politik yang muncul. Mengapa pemerintah tidak mencerminkan kinerjanya?" ujar seorang mahasiswa, Jay Leung (20 tahun).
Awalnya, aksi protes di Hong Kong menuntut agar pemerintah menarik rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi. Sebab, RUU tersebut akan mengirim pelaku kejahatan untuk diadili di Cina Daratan.
Para kritikus dan aktivis menilai, RUU tersebut akan mencoreng norma-norma hukum di Hong Kong. Aksi tersebut kemudian meluas dan menuntut Lam mundur dari jabatannya, dan penyelidikan independen terhadap polisi yang dinilai telah melakukan kekerasan terhadap para pengunjuk rasa. Pemerintah sejauh ini menolak untuk menyetujui tuntutan mereka.