REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Lintar Satria
Tembikar tanah liat, kaca warna-warni, furnitur bambu, dan alat tradisional sedang menenun karpet serta tikar kini tinggal kenangan bagi sebagian warga Gaza. Semua itu bagian dari kenangan saat perekonomian Gaza lebih baik dari sekarang.
Selama puluhan tahun barang-barang kerajinan tradisional itu membentuk perekonomian pinggir pantai Palestina. Industri itu mampu mempekerjakan ratusan orang dan diekspor ke seluruh penjuru kawasan.
Hari ini industri itu hampir musnah. Sementara profesi perajin menyusut dan dunia dipenuhi barang kerajinan produksi massal dari Cina, blokade Israel mempercepat musnahnya industri ini. Namun, sejumlah kecil perajin Gaza berusaha membangkitkan industri ini.
"Perekonomian kami sudah hancur, kami tetap bertahan, tetapi benar-benar sulit," kata salah satu perajin kaca di Gaza, Abed Abu Sido, sambil membalik halaman katalognya.
Di ruang kerjanya yang hening, debu melapisi beberapa kerajinan tangan Abu Sido yang masih tersisa. Membuatnya harus terus mengelap artefak-artefak itu setiap saat agar tetap tampak mengilap. Kotak-kotak bahan baku dan produk yang belum selesai ditumpuk dari lantai sampai langit-langit.
Abu Sido membuka usahanya pada tahun 1980-an. Ia menjual banyak ke para pedagang di pasar populer Kota Tua Yerusalem. Di masa jayanya, Abu Sido mengatakan, ia ikut ekshibisi di Eropa.
Semuanya berubah setelah tahun 2007 ketika Hamas memimpin di Gaza. Israel dan Mesir pun menanggapinya dengan menutup jalur perdagangan kota itu. Abu Sido mengeluarkan 15 pekerjanya dan tidak beroperasi di tahun selanjutnya.
Israel mengatakan, blokade itu dibutuhkan untuk menguasai Hamas dan mencegah mereka mendapatkan senjata. Namun, pertempuran antara Israel dan Otoritas Palestina di Tepi Barat memukul keras Gaza.
Lewat blokade, Israel memperketat ekspor dan membatasi impor bahan baku mentah. Angka pengangguran di atas 50 persen, sementara permintaan pasar lokal lemah. Israel menyalahkan situasi ini ke Hamas, kelompok bersenjata yang menentang keberadaan Israel.
Badan pertahanan Israel untuk warga sipil Palestina, COGAT, mengatakan, sekarang ekspor dari Gaza kerap kali bisa sampai ke Israel, Tepi Barat, dan luarnya. Mereka mengaku sudah bekerja selama berbulan-bulan untuk mempromosikan barang ekspor Gaza demi membantu perekonomian wilayah itu.
"Dalam kerangka kerja ini, program pilot yang telah diluncurkan untuk memproduksi tisu basah, barang aluminium, pintu besi, mainan, papan kayu, dan banyak lagi," kata COGAT.
Mereka menambahkan, produk-produk pertanian, furnitur, dan tekstil sekarang diekspor dari Gaza secara teratur. Produk itu dikirim melalui jalur kargo dengan Israel. COGAT mengatakan, kini mereka memiliki kapasitas untuk mengirim 100 truk barang melalui jalur penyeberangan Karem Shalom. Namun, warga Gaza hanya dapat menggunakan sepertiga dari itu.
Para pengusaha mengatakan, setelah bertahun-tahun tidak dapat melakukan ekspor, kini sulit bagi mereka untuk terus beroperasi. Banyak pengusaha yang kehilangan rekan mitra bisnis mereka.
Tidak jauh dari tempat kerja Abu Sido, ada bengkel Khalaf's Carpentry. Perajin yang terkenal dalam membuat furnitur dari rotan dan bambu.
Barang-barang yang diproduksi pemiliknya, Tareq Khalaf, seperti set ruang keluarga, kursi malas, meja makan, dan bangku, sempat dikirimkan ke berbagai tepi, seperti Tepi Barat, Israel, Teluk Persia, dan Amerika. Bengkel itu berjaya dari tahun 1975 sampai pecahnya pemberontakan Palestina kedua pada tahun 2000.
Bisnis Khalaf semakin memburuk ketika blokade diberlakukan. Ia pun harus merumahkan 30 karyawan penuh waktunya. Kini Khalaf hanya mempekerjakan lima karyawan paruh waktu.
Walaupun Israel telah mencabut larangan ekspor furnitur, Khalaf mengatakan, banyak pelanggannya yang pindah ke tempat lain. Pajak bahan baku yang diberlakukan Hamas juga menjadi rintangan tersendiri. "Ini profesi tradisional Palestina, pemerintah harus membuatnya jadi prioritas, mereka harus membantu industri ini," kata Khalaf.
Ada ratusan mangkuk pot, vas, kendi, dan mangkuk dari tanah liat yang tak terjual tergelak di bengkel kerja Atallah. Beberapa hari terakhir, tiga orang pekerja membentuk tanah liat dengan roda, sementara dua orang lainnya mencampur bahan-bahannya.
Pemilik bengkel Khairi Atallah mengatakan, lima orang itu sisa dari 50 orang pekerjanya. Atallah mengatakan, ia tidak dapat mengekspor barang-barangnya ke Tepi Barat dan Israel. Padahal, di sanalah 90 persen barang-barangnya terjual. "Penghasilannya tidak cukup untuk bertahan," kata Atallah.
Ia mengatakan, akan tetap beroperasi karena ayahnya tidak ingin bisnis turun-temurun berhenti di masa hidupnya. Sementara itu, Mahmoud Sawaf yang berusia 73 tahun yakin dia adalah penenun terakhir di Gaza.
Wisatawan tidak bisa masuk ke Gaza, maka hanya para pekerja sosial yang membuatnya bertahan. Tikar jerami yang lebih murah membanjiri Gaza dan warga setempat tidak mampu membeli karpet buatan tangan Sawaf, tetapi orang-orang asing masih mau membelinya. "Bahkan, pada usia saya ini, saya masih terus bekerja. Saya tidak akan menyerah dan berhenti," kata Sawaf. n ap ed: yeyen rostiyani