Dua putri asal Papua, Vanda Astri Korisano dan Martha Ztiennov Itaar, sukses membuktikan kompetensi mereka di dunia penerbangan dengan terpilih menjadi pilot perempuan pertama asal Papua yang akan mengawaki pesawat milik maskapai nasional Garuda Indonesia.
Bersahabat sejak duduk di sekolah menengah pertama, dua putri asal Papua Vanda Korisano dan Martha Itaar sukses meraih cita-cita kecil mereka menjadi penerbang. Keduanya kini tercatat sebagai pilot perempuan asal Papua pertama yang bergabung dengan kelompok usaha milik maskapai plat merah, Garuda Indonesia Group.
Vanda Astri Korisano, 23 tahun, mengaku menjadi pilot pesawat Garuda Indonesia adalah cita-cita sejak kecil. ''Saya sejak kecil senang sekali melihat pesawat Garuda, kalau ke bandara lihat pesawat Garuda itu saya 'wow' pesawat bagus sekali dan bertekad suatu saat nanti akan bisa tebangkan pesawat Garuda."
"Makanya pas tahu saya diterima di Garuda, saya bangga dan haru," katanya ketika berbicara dengan wartawan ABC Indonesia, Iffah Nur Arifah, hari Selasa (6/8/2019).
Namun, menurut Vanda, ini bukan sebuah pencapaian yang mudah untuk diraihnya. Lantaran dirinya harus menjalani proses seleksi rekrutmen pilot Garuda yang ketat.
"Perlu motivasi yang kuat, karena tesnya banyak sekali. Saya harus melewati 12 tahapan. Prosesnya dari awal Desember lalu, baru diumumkan Juni lalu," tuturnya.
Sementara Martha Itaar, 23 tahun, mengaku sudah tidak sabar untuk bertugas melayani penerbangan di tanah kelahirannya. "Cita-cita saya dari dulu memang bisa menerbangkan pesawat dan melayani rute penerbangan di Papua dengan maskapai internasional dan untuk di Indonesia, Garuda yang terbaik."
"Saya sudah tidak sabar ingin terbangkan pesawat," kata putri kelahiran Kabupaten Waropen, Papua ini.
Kesempatan bergabung dengan Garuda Indonesia ini datang setelah Vanda dan Martha merampungkan studi di sekolah penerbangan Nelson Aviation College, Selandia Baru. Keduanya berangkat ke Selandia Baru pada 2014, dengan didanai oleh program beasiswa dari dana Otonomi Khusus (Otsus) pemerintah provinsi Papua.
Vanda dan Martha bahkan meraih penghargaan sebagai penerbang terbaik sepanjang tahun untuk mahasiswa internasional (Best all round flying performance for international students). Mereka mendapatkan sertifikasi berupa Private Pilot License, Commercial Pilot License dan Multi Engine Instrument Rating.
Setelah lulus dari Selandia Baru pada awal Januari 2018, mereka memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Penerbangan Ganesha, Jakarta. Di sini, mereka mendapatkan sertifikasi Indonesian DGCA Pilot License.
Dua sahabat alumni SMAN 1 Jayapura ini kemudian mengikuti tes untuk menjadi pilot maskapai terbesar di Indonesia, Garuda Indonesia. Pada bulan Juni 2019, kerja keras dan perjuangan mereka akhirnya terbayarkan, mimpinya untuk menjadi pilot Garuda Indonesia, terpenuhi.
Vanda diterima bertugas di Garuda Indonesia, sementara Martha Itaar menurut rencana akan ditempatkan di Citilink
Direktur Utama Garuda Indonesia, Ari Askhara, mengungkapkan rasa bangganya dapat merekrut putri Papua terbaik. Pencapaian ini membuktikan bahwa siapa pun termasuk perempuan Papua bisa menjadi pilot asalkan berprestasi dan mampu.
"Tentunya capaian kedua pilot asal Papua yang telah berhasil lulus proses rekrutmen pilot ini merupakan hal yang patut diapresiasi, mengingat rekrutmen pilot Garuda Indonesia Group memiliki standar requirement yang cukup tinggi".
"Hal ini turut menandakan bahwa banyak putra-putri daerah yang memiliki daya saing yang unggul," kata Ari Ashkara dalam rilis yang diterbitkan Garuda Indonesia Group.
Ari berharap langkah yang dibuat Vanda dan Martha dapat menjadi lokomotif penarik putra/putri Papua lain di Garuda Indonesia
Vanda: Awalnya takut ketinggian
Namun, menurut Vanda Astri Korisano, menjadi pilot masih belum menjadi mainstream anak-anak di Papua. "Cita-cita menjadi penerbang itu sesuatu yang tidak pernah diomongkan teman-teman saya ketika di sekolah dulu."
"Mereka rata-rata bercita-cita melanjutkan kuliah atau menjadi polisi, guru atau tantara. Jadi profesi yang biasa dilihat di sekitarnya," tutur Vanda.
Oleh karena itu, dia berharap kisahnya dapat memotivasi anak Papua lain untuk berani bercita-cita tinggi. "Jangan membatasi diri, jangan berpikir ah saya perempuan saya tidak bisa, atau ah saya anak Papua, gak bisa ini atau itu."
"Menurut saya, tidak masalah kita berasal dari daerah mana, semua akan kembali ke diri sendiri, kalau ada tekad dan mimpi yang besar, pasti terwujud kalau kita banyak berusaha dan berdo'a, Tuhan pasti akan kasih jalan." tuturnya.
Vanda menuturkan impiannya untuk menjadi pilot juga nyaris pupus lantaran ketiadaan biaya. Namun perempuan kelahiran 29 April 1996 ini tidak menyerah, dia terus mempertahankan prestasinya di sekolah.
Oleh karena itu, dia tidak menyia-nyiakan kesempatan ketika mengetahui ada program beasiswa dari Pemerintah Provinsi Papua untuk sekolah penerbangan ke Selandia Baru. "Sejak kecil saya selalu suka jika diajak melihat bandara dan setelah sekolah saya sangat suka pelajaran Bahasa Inggris."
"Saya berpikir karier yang pas untuk mengabungkan kesukaan saya dengan bandara dan bahasa Inggris adalah antara menjadi pramugari atau pilot."
"Tapi setelah melihat biayanya, sekolah pilot mahal sekali, keluarga saya tidak mampu. Jadi, saya pikir mungkin menjadi pramugari sajalah yang lebih mungkin."
"Tetapi ketika ikut wawancara program beasiswa otsus Papua, saya malah ditawari mau gak menjadi pilot, wah itu saya tidak berpikir lagi, saya langsung bilang saya mau jadi pilot," tuturnya.
Bagi Vanda, menjadi pilot ini juga sebuah perjuangan mengalahkan ketakutan dalam dirinya sendiri karena ia mengaku takut dengan ketinggian. "Saya sebenarnya takut dengan ketinggian, makanya begitu terbang pertama dengan pesawat kecil, saya awalnya gugup, tapi lama kelamaan jadi terbiasa."
"Dan saya sejak pengalaman pertama terbang itu, saya langsung suka banget terbang dan saya selalu ingin terbang setiap hari apalagi malam hari, karena pemandangannya indah sekali di angkasa," tuturnya.
Kini Vanda sedang menjalani pendidikan pilot di Garuda Indonesia Training Center (GITC) dengan mengambil rating tipe pesawat Boeing 737-800 NG dan selanjutnya akan mengikuti flight training. Ia mengaku sudah tidak sabar melayani rute penerbangan di Papua.
"Saya lihat di sosmed, masih ada tempat terpencil di Papua yang belum terjangkau dan sulit sekali mendapat kiriman sembako. Jadi saya pikir, saya bisa membantu warga Papua kalau saya diterima di dunia penerbangan."
Martha Itaar: Tekad membangun Papua
Sementara bagi Martha Itaar menjadi pilot perempuan pertama asal Papua yang bertugas di Garuda Indonesia memberikan catatan tersendiri bagi dirinya.
"Selain bangga dan haru, saya juga merasa memiliki tanggung jawab besar untuk berpikir saya harus berbuat apa biar lebih banyak anak Papua yang bisa mendapat kesempatan menjadi penerbang di maskapai nasional."
Karena menurut perempuan kelahiran Jayapura, 21 November 1996, ini moda transportasi udara sangat penting bagi tanah kelahirannya apalagi sector aviasi di daerahnya juga semakin berkembang. Sehingga, peluang bagi anak-anak Papua untuk berkarier di sektor ini juga masih sangat bagus.
"Sekarang sektor aviasi di Papua cukup pesat perkembangannya, Maskapai Susi Air sudah buka lebih banyak jalur di Papua. Peluang di sektor ini masih sangat bagus." katanya.
Namun, menurutnya, perkembangan ini masih belum dimanfaatkan secara maksimal oleh putra daerah. "Saya banyak lihat di YouTube kebanyakan pilot yang banyak layani penerbangan di Papua, gak Cuma Susi Air tapi juga maskapai lain itu malah orang dari luar negeri."
"Saya heran, kenapa di Indonesia sekarang kan sudah banyak lulusan sekolah pilot, tapi tidak ambil kesempatan untuk melayani rute Papua."
"Oh kalau begini, berarti harusnya orang Papua sendiri yang melayani penerbangan di Papua," tekadnya.
Hal ini pula yang semakin memotivasi Martha menjadi penerbang. Ia mengaku sejak bersekolah di Sekolah Menengah Atas (SMAN) 1 Jayapura, dia sudah bertekad untuk mendapatkan beasiswa sekolah aviasi.
"Waktu pas SMA saya dibawakan miniatur pesawat dan itu pesawat Garuda sama ayah saya, dari situ saya mulai tertarik dengan dunia penerbangan."
"Dan saya itu orangnya kalau sudah set goal akan fokus kesana, jadi sejak bercita-cita menjadi pilot saya memang sudah mengincar beasiswa, karena saya tahu sekolah penerbangan itu mahal-mahal. Jadi jalan satu-satunya hanya dengan mendapatkan beasiswa."
"Dan tantangan untuk mendapat beasiswa itu Bahasa Inggris, sementara di Papua saya akui pengajaran Bahasa Inggrisnya kurang, jadi saya harus memotivasi diri untuk belajar Bahasa Inggris sendiri," tuturnya.
Kerja keras dan prestasinya yang menonjol di bidang akademis membuat anak dari Yacobus Itaar ini terpilih menjadi 1 dari 4 anak Papua yang mendapat beasiswa sekolah aviasi di Selandia Baru.
"Kelebihan belajar Aviasi di Selandia Baru itu, standar pendidikannya dan kesempatan untuk mengambil ilmu lebih besar.'
"Contohnya kita dikasih kesempatan untuk memilih airport mana untuk terbang. Pelatihannya juga sangat detil dan disiplin."
"Dan karena dunia aviasi tidak lepas dari komunikasi dalam bahasa Inggris, maka kalau belajar di luar kita lebih lancar berbahasa Inggris," tuturnya.
Martha Itaar berharap pencapaian yang diraihnya bisa memotivasi rekan-rekannya sesama anak Papua untuk bercita-cita tinggi. Menurutnya, anak-anak Papua harus memanfaatkan peluang yang sekarang semakin terbuka luas.
"Tantangan terberat buat anak Papua adalah lingkungan, karena lingkungan di Papua itu masih kurang kesadaran untuk belajar dan cenderung minder duluan seolah-olah Papua tertinggal sama daerah-daerah yang lain."
"Padahal sebenarnya kalau kita berusaha akan selalu ada jalan. Apalagi sekarang kesempatan untuk beasiswa itu semakin banyak di Papua." tuturnya.
Anda bisa mengikuti berita-berita dari ABC Indonesia lainnya di sini