Pemerintah Indonesia sudah mengisyaratkan bahwa rektor asing kemungkinan besar akan bisa memimpin salah satu universitas mulai tahun 2020, namun sebagian kalangan masih mengatakan bahwa wacana tersebut masih terlalu dini untuk dilakukan di sini.
Bila sudah ada rektor asing yang bekerja di Indonesia tahun depan, dalam masa empat tahun kemudian yaitu di tahun 2024 sebanyak 5 perguruan tinggi negeri (PTN) sudah akan dipimpin rektor terbaik dari luar negeri.
Kemenristekdikti meyakini kehadiran rektor berkualifikasi internasional ini merupakan sebuah terobosan penting yang akan dapat meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia dan pada akhirnya dapat mendongkrak ranking perguruan tinggi Indonesia masuk dalam 100 universitas terbaik dunia.
Namun demikian sejumlah kalangan memandang rencana ini sebagai kebijakan yang prematur.
Rektor Intitut Pertanian Bogor (IPB), Profesor Arif Satria yang juga ketua Forum Rektor Indonesia terpilih untuk periode 2020-2024 mengatakan ekosistem internal dan eksternal di PTN belum kondusif menerima konsep rektor asing ini.
"Saya pribadi tidak anti pada wacana rektor asing, karena international mobility di dunia akademik itu hal yang biasa dan wajar. Dan kita butuh tenaga asing untuk membangun jaringan juga."
"Tapi kita perlu melihat realitas dan konteks di Indonesia, situasi di kita lebih kompleks," kata Arif Satria ketika dihubungi wartawan ABC Iffah Nur Arifah hari Kamis (8/8/2019).
Menurutnya di negara maju, perguruan tinggi sudah punya ekosistem yang baik dan kondusif. Secara internal maupun eksternal yang memungkinkan perguruan tinggi berfokus untuk menghasilkan riset dan inovasi yang berkualitas.
Hal yang menjadi salah satu tolok ukur pemeringkatan universitas di dunia internasional.
Secara eksternal, PT di negara maju menurutnya mendapat dukungan luar biasa dari pemerintah dan tidak lagi direpoti oleh situasi sosial politik, sehingga kampus praktis hanya fokus pada urusan riset dan inovasi.
"Orientasi pengembangan pendidikan, pendidikan karakter dan soft skill juga sudah selesai di level SD, SMP, SMA, sehingga PT memang diarahkan pada universitas riset dan inovasi itu menjadi relatif lebih mudah." katanya.
"Hal ini berbeda dengan dunia ketiga, seperti Indonesia, Perguruan tinggi masih menjadi kelompok elit karena situasi sosial politik di negara dunia ketiga masih membutuhkan peran kampus sebagai kekuatan moral dan sebagainya."
"Begitu juga pendidikan karakter kita belum tuntas masih berlanjut di PT, jadi situasi kita lebih kompleks." tambahnya.
Arif Satria menambahkan secara internal kondisi PT juga belum kondusif untuk dipimpin rektor asing.
Ia merujuk pada budaya birokrasi dan PNS di perguruan tinggi hingga talent para dosen yang belum memiliki orientasi riset yang kuat.
Belum lagi sistem insentif anggaran dan fasilitas yang juga masih minim.
Target rangking bertahap
Menyinggung target pemerintah Indonesia agar perguruan tinggi nasional masuk jajaran 100 dunia, Arif Satria memandang akan lebih baik jika target itu dikejar secara bertahap.
"Misalnya untuk ranking di Quacquarelli Symonds (QS) World University Rankings, mereka setiap tahun mengeluarkan ranking per bidang, termasuk pertanian dan kehutanan."
"Dalam subjek ini IPB sudah masuk rangking ke-74 dunia, artinya kita ini sudah masuk ke 100 besar dunia."
"Jadi jangan mengejar ranking secara keseluruhan, lebih baik per subjek. Misalnya UI fokus di kedokteran, PT lain di teknik, karena setiap PT pasti punya 'kekuatan' yang berbeda-beda, jadi kita bertarung sesuai dengan bidang kita."
Pendapat yang sama juga diungkapkan pemerhati pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Jimmy Philips Paat.
Menurutnya alih-alih mendatangkan rektor asing lebih baik kemeristekdikti fokus pada upaya membenahi sistem yang ada agar lebih memungkinkan terbentuk ekosistem pengajaran yang baik di perguruan tinggi.
"Yang tidak muncul di PT di Indonesia adalah hubungan antara dosen dan mahasiswa yang baik, dimana dosen mampu mengantar mahasiswa untuk memiliki relasi yang baik dengan ilmu pengetahuan baik itu melalui diskusi, bimbingan yang baik, laboratorium."
Dan ini bukan kesalahan dosen, karena system di PT kita tidak mendukung relasi seperti itu dosen dosen dibebani kewajiban mengajar dengan SKS yang banyak," tambahnya.
"Karena membawa orang dari luar itu tidak menjamin, bagaimanapun dia harus mempelajari dulu situasi di PT yang akan ditempatkan, kalau tidak jangan heran kalau program ini akan gagal dan tidak mendapat dukungan PTN," katanya.
Dan sejumlah elit dari perguruan tinggi negeri di Indonesia juga telah mengungkapkan penolakan mereka atas rencana mendatangkan rektor impor ini.
Kriteria rektor asing
Namun tampaknya Kemenristekdikti tidak mau terlalu peduli dengan suara-suara penolakan tersebut dan bersikukuh tahun 2020 program penjaringan rektor berkualifikasi internsional ini sudah dimulai.
Adapun kriteria rektor asing yang dicari antara lain adalah jaringan, kapabilitas, dan pemahaman terhadap konteks Indonesia.
Sebelumnya, Menristekdikti Mohammad Nasir mengatakan, calon rektor asing harus menunjukkan rekam jejak dalam meningkatkan performa perguruan tinggi, terutama dalam peningkatan hasil riset dan inovasi yang menjawab kebutuhan pasar.
"Kami nanti akan lakukan global bidding (penawaran global), pertama yang harus kita lihat adalah dia yang punya network, yang kedua pengalaman dia di dalam mengelola perguruan tinggi itu seperti apa, mampukah meningkatkan rating (peringkat) suatu perguruan tinggi itu menjadi lebih baik," kata Mohammad Nasir di Gedung Ristekdikti, Jakarta beberapa waktu lalu.
Sejumlah persiapan untuk mendukung kebijakan ini juga sedang dimatangkan mulai dari revisi peraturan hingga pendanaan.
Deputi II Kantor Staf Presiden (KSP), Yanuar Nugroho mengatakan pemerintah telah siap menggelontorkan anggaran untuk mendukung program peningkatan mutu pendidikan tinggi di dalam negeri.
"Presiden menyiapkan dana abadi pendidikan dinaikan ke Rp 100 triliun dari sekarang Rp 60 triliun. Kedua dana abadi riset dari Rp 1 triliun menjadi Rp 50 triliun, dana abadi kebudayaan dari sekitar Rp 2-5 triliun menjadi 50 triliun dalam lima tahun." kata Yanuar kepada media dalam sebuah acara di Jakarta.
Indonesia saat ini tercatat memiliki 4.700 perguruan tinggi.
Namun berdasakan lembaga pemeringkat perguruan tinggi dunia yang diacu Kemenristekdikti, yakni QS World University Ranking, baru 3 universitas unggulan saja yang mampu masuk peringkat ini.
Yaitu Universitas Indonesia (UI) di peringkat 296, disusul Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Gadjah Mada (UGM), berada di peringkat 300-an.
Posisi ini jauh di bawah sejumlah universitas lain di kawasan Asia, seperti di China, Hong Kong, Korea Selatan.
Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia