REPUBLIKA.CO.ID, NAIROBI -- Lautan botol-botol plastik bertebaran di sebuah halaman pabrik daur ulang di Ibu Kota Nairobi, Kenya. Tempat sampah plastik juga terlihat mengotori area pinggir jalan di sekitarnya, bahkan hingga menyumbat aliran air di sungai.
Namun, pemilik pabrik daur ulang itu, Lucy Luo Minghui mengaku tetap tidak bisa mendapatkan cukup banyak plastik untuk mempertahankan bisnisnya. Padahal, pabrik yang ia miliki adalah salah satu dari sekian banyak inisiatif pemerintah di negara Afrika itu untuk mengatasi krisis sampah plastik yang terus meningkat di dunia.
Hampir semua terjebak dalam perselisihan antara perusahaan konsumen dan pemerintah mengenai cara mengumpulkannya. Minghui berharap dapat menggunakan kelebihan global dalam limbah plastik untuk membuat serat tekstil berbiaya rendah dari botol plastik.
Seperti diketahui, harga untuk botol bekas menukik setelah Cina melarang impor limbah plastik tingkat rendah pada 2017. Namun, ia tidak bisa mendapatkan setidaknya 2.000 ton plastik yang ingin didaur ulang setiap bulan.
"Dalam sebulan kami hanya dapat mengumpulkan 650 ton. Jika kami tidak memliki cukup bahan, maka bisnis ini akan mengalami kerugian karena kami harus membayar pekerja, listrik, dan air,” ujar Minghui pada Sabtu (10/8).
Seperti banyak negara berkembang, Kenya tidak memiliki infrastruktur daur ulang. Perusahaan swasta mengumpulkan sampah rumah tangga yang tidak disortir dan mengangkutnya ke tempat pembuangan besar. Para pemulung mengais-ngais kantong sampah di luar rumah dan tumpukan sampah di tempat pembuangan sampah untuk memulihkan plastik yang dibutuhkan oleh pengusaha seperti Minghui. Perusahaan multinasional seperti Coca-Cola dan Unilever mensubsidi pengumpulan polietilena tereftalat (PET), plastik yang biasa digunakan dalam botol mereka, karena marginnya terlalu rendah di Kenya.
Sebuah badan nirlaba di Kenya, PETCO, yang menjadi milik perusahaan tersebut, membayar 5 shilling (sen AS) di atas 19 shilling per kilogram. Sementara, Minghui membayar perusahaan yang mengirimkan botol PET, yang tiba tanpa kompres dan harus disortir dengan tangan.
Tetapi volume yang diambil oleh botol yang tidak dikompres membuatnya tidak ekonomis untuk diangkut, terutama jarak yang jauh. Manajer untuk PETCO Kenya, Joyce Gachugi mengatakan adanya margin yang tidak masuk akal. Ia juga menilai bahwa negara harus membebaskan biaya yang dikenakan dalam memindahkan sampah melintasi batas-batas wilayah.
“Margin tidak masuk akal untuk pengemudi truk,” ujar Gachugi.
PETCO Kenya mengatakan pada Agustus ini, pihaknya telah mendaur ulang 2.400 ton sampah plastik. Target pada 2019 untuk pendauran ulang sampah plastik oleh pihakya adalah sebesar 6.000 ton dan diharapkan meningkat di tahun-tahun mendatang. Asosiasi Produsen Kenya mengatakan sekitar 20.000 ton limbah plastik PET dibuat di negara itu setiap tahun.
Di Kenya, banyak botol-botol plastik yang dibuang mengotori pantai-pantai di negara itu. PBB mengatakan jika hal ini terus berlanjut, maka pada 2050 akan ada lebih banyak plastik di lautan daripada ikan.
Merek konsumen Coca-Cola, Unilever dan Nestle adalah di antara produsen sampah plastik terbesar di dunia, menurut laporan Greenpeace Oktober 2018. Perusahaan-perusahan ini mengatakan telah menetapkan target lingkungan yang ambisius dan berinvestasi dalam solusi berkelanjutan seperti mendaur ulang botol plastik menjadi botol, tetapi situasinya kompleks.
“Tantangannya sangat besar dengan berbagai masalah yang harus dipecahkan di setiap negara, di kota-kota dan di daerah pedesaan dan ada begitu banyak elemen yang harus diperbaiki,” ujar pernyataan Nestle.
Coca-Cola, Nestle, Unilever dan Diageo membentuk aliansi daur ulang plastik Afrika pada Maret lalu. Tujuan dari pembentukan ini adalah untuk membangun prakarsa daur ulang nasional, yang sudah dikolaborasikan dengan perusahaan anggota, seperti di Ghana, Nigeria, dan Afrika Selatan
“Ketika belajar dari inisiatif ini, kita akan melihat bagaimana meningkatkan atau mereplikasi di bagian lain benua,” ujar juru bicara perusahaan Nestle Shilla Christianto.
Afrika Selatan mendaur ulang hampir dua pertiga dari limbah plastiknya pada 2018 dan menjadi satu-satunya negara Afrika dengan model daur ulang yang sukses. PETCO Afrika Selatan adalah model untuk Kenya. Casper Durandt, seorang karyawan Coca Cola yang mendirikan program Afrika Selatan 18 tahun yang lalu, mengatakan proyek PETCO sedang diluncurkan di Ethiopia, Tanzania, Thailand, Vietnam, Filipina, dan Malaysia. Ia juga mengatakan PETCO adalah skema sukarela tetapi perusahaan membutuhkan dorongan.
Banyak negara berjuang untuk mendaur ulang. Di Nigeria, konsorsium perusahaan minuman yang dipimpin oleh Coca-Cola membuat kesepakatan pada September 2018 dengan pembuat semen Lafarge untuk membakar botol plastik sebagai bahan bakar dalam kiln. Di Ghana, delapan perusahaan minuman memulai aliansi daur ulang GRIPE dan sedang mencari perusahaan Kanada, yang mereka tolak namanya, untuk mendirikan pabrik yang memproduksi serat tekstil.