Menurut laporan dari Departemen Imigrasi dan Kewarganegaraan Australia, Indonesia menjadi salah satu dari 10 negara penyumbang mahasiswa internasional di Australia.
Laporan tahun 2017 ini mencatat bahwa sebanyak 20 ribu mahasiswa Indonesia terdaftar di lembaga pendidikan di Australia yang rata-rata adalah di New South Wales dan Victoria.
Ada pendapat umum yang mengatakan kalau bisa sebagian besar dari mahasiswa ini kalau sudah lulus ingin kemudian menetap di Australia, karena fasilitas, gaji, dan kehidupan yang lebih baik.
Namun apakah semuanya demikian?
ABC Indonesia berbicara dengan tiga orang warga Indonesia yang baru saja lulus dari universitas di Australia dan ketiganya memilih jalur kehidupan yang tidaklah sama.
Gabriella Astiti yang lulus dari Universitas Deakin dengan gelar Sarjana Seni bidang Film dan Televisi tahun 2017 memang tidak memiliki rencana menetap ketika tiba di Australia.
Ia memutuskan untuk pulang dan bekerja di Indonesia setelah visa Warga Sementara Australia yang berdurasi dua tahun habis enam bulan lagi.
Videografer lepas di sebuah perusahaan startup di Cranbourne, Victoria, Australia tersebut berpikir bahwa tinggal di Australia bukanlah tujuan akhirnya.
"Izin tinggal permanen di Australia memang seolah-olah bagaikan tiket emas menuju kehidupan lebih baik, tapi itu bukan panggilan saya," kata Asti.
"Yang pasti saya mau melihat diri saya berjuang di Indonesia dengan alasan yang baik."
Sementara itu, Adisa Manalu yang memiliki gelar Sarjana Seni (Komunikasi dan Media) Universitas Monash sempat tergoda dengan kesempatan tinggal di Australia dengan visa Warga Sementara.
Namun, melihat perkembangan industri kreatif di Indonesia, tanpa ragu ia memutuskan untuk meninggalkan Australia.
"Awalnya lumayan mau ambil visa Warga Sementara, tapi setelah melihat prospek di Indonesia dengan segala macam startups yang bertumbuh jadi mau pulang dan kerja di sana."
Adisa sadar bahwa akan ada proses adaptasi yang harus ia tempuh ketika kembali tinggal di kampung halaman.
"Yang menantang pastinya bagian menyesuaikan dirinya ya, karena harus mulai dari awal beradaptasi dengan lingkungan baru," kata Adisa.
"Apalagi dengan macetnya Jakarta. Sedangkan di Melbourne sudah terbiasa naik transportasi publik yang sangat nyaman. Budaya di tempat kerja pun pasti berbeda."
Menetap karena ada kesempatan
Andreas Utomo adalah salah satu mahasiswa Indonesia yang lulus dari Universitas RMIT pada tahun 2018.
Kini, ia sedang dalam proses mengurus izin tinggal tetap di Melbourne, Victoria, Australia.
Di saat banyak orangtua murid ingin anaknya bekerja di Indonesia dan tinggal dekat dengan mereka, orangtua Andre ingin ia tetap tinggal di Australia.
"Awalnya belum kepikiran mau menetap di sini. Yang saya tahu saya ambil jurusan saya karena saya suka ilmu Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)," kata dia.
"Namun orangtua saya mau saya buat visa permanen dan kebetulan jurusan yang saya ambil itu memenuhi syarat visa tersebut."
Meski sudah mendapat lampu hijau dari orangtua, ia sadar bahwa proses pengaplikasian izin tinggal di Australia tidaklah mudah.
"Sekarang untuk dapat izin permanen itu sulit karena poin yang dibutuhkan tinggi," kata Sarjana Teknik bidang Komputer dan Teknik Jaringan itu.
"Untuk memenuhi syarat, saya harus punya nilai tes Bahasa Inggris PTE sebesar 80 dan mengikuti program Pelatihan Profesional."
Di pelatihan tersebut, Andre menyebutkan belajar tentang keselamatan di tempat kerja, cara mengadakan rapat bisnis, menyusun resume dan kemampuan wawancara."
Gaji bukan segalanya
Upah Minimum Provinsi (UMP) tertinggi di Indonesia tahun 2019 bagi pegawai minimal lulusan S1 menurut situs mamikos.com tiap bulannya adalah Rp 3.650.000.
Sedangkan di Australia, upah minimum nasional baru ditingkatkan menjadi $719,20 seminggu yang berarti $2,876 satu bulan atau setara Rp 28.000.000.
Asti menyadari kesempatan ini namun mengatakan bahwa pekerjaan bukanlah hanya soal gaji.
"Mungkin saya idealistis tapi banyak sekali hal yang lebih patut dikejar selain gaji dan stabilitas hidup di Australia," kata Asti kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.
"Yang saya mau sangatlah sederhana, kembali ke komunitas saya di Indonesia dan berkontribusi dalam hal-hal yang baik. Hidup kelihatan jadi lebih bermakna dengan begitu."
Adisa yang akan kembali ke Indonesia akhir Agustus 2019 mengatakan pernah mempertimbangkan masalah gaji di Indonesia yang lebih rendah dari di Australia.
"Kalau masalah gaji Indonesia pasti kalah. Tapi saya pindah ke Indonesia karena mau menemani orangtua karena secara teknis sudah lima tahun tidak sama mereka."
Menurutnya, gaji pegawai di Indonesia sesuai dengan biaya kehidupan di sana.
"Tidak masalah juga gaji lebih rendah di Indonesia karena biaya hidup juga secara relatif lebih murah tergantung gaya hidup."
Andreas mengatakan bahwa standar gaji di Australia yang tinggi menjadi alasan ia mau menetap di negara tersebut.
"Alasan saya mau jadi Warga Tetap adalah untuk hidup yang terjamin dari sisi ekonomi dan sosial," katanya.
"Kalau sisi ekonomi, karena gaji di sini jauh lebih tinggi daripada di Indonesia."
Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia