Senin 12 Aug 2019 15:13 WIB

Ironi Nasib Imigran di Israel Kala Rusuh Yerusalem

Di Israel antara kaum imigran ternyata saling membenci.

Bentrokan antara tentara Israel dan pengunjung Masjidil Aqsa saat tengah berlangsungnya shalat dan perayaan Idul Adha di Yerusalem, Ahad (11/8).
Foto: The Guardian
Bentrokan antara tentara Israel dan pengunjung Masjidil Aqsa saat tengah berlangsungnya shalat dan perayaan Idul Adha di Yerusalem, Ahad (11/8).

REPUBLIKA.CO.ID,  Betapa malang nasib seorang pekerja migran Filipina, Rosemarie Perez dan putra remajanya, Rohan Perez. Meski mereka lahir di Israel, tapi kini sedang dalam proses deportasi dari Israel. Keputusan ini terjadi setelah kalah alias gagal sebanyak tiga kali berturut-turut dalam proses pengadilan atas soal status kewarganegaraan Rohan Perez sekeluarga itu.

Sebelum diadili dan kini akan dideportasi, Rosemarie Perez ditangkap oleh petugas imigrasi bersama putranya yang masih berusia baru berusia 13 tahun pada Selasa pekan lalu. Ia ditangkap karena memperpanjang visa kerjanya. Dan setelah ditangkap dan dijatuhi hukuman deportasi, pada Ahad malam kemarin, keduanya langsung di bawa ke di Bandara Internasional Ben Gurion, dekat Tel Aviv. Rencana Ramires akan diterbangkan paksa ke Hong Kong. Setelah itu baru ke Manila.

"Mereka akan terbang malam ini," ujar Beth Franco dari United Children of Israel (UCI), dilansir dari Aljazirah, Senin (12/8).

Adanya kasus deportasi ini memang menarik untuk dibahas. Apa pasal? Sebab, sejatinya pula warga Yahudi di Israel itu adalah kaum pendatang. Mereka dahulu adalah orang yang berasal dari diaspora kaum Yahudi yang ada diberbagai negara di dunia. Mereka pulang ke tanah milik orang Palestina dan di situ kemudian mereka mendirikan negara Israel.

Dalam hal ini peran Inggris dan aliansi negara sekutu (Nato) selaku pemenang perang dunia II adalah penentunya. Perdana menteri Inggris di zaman perang dunia II, Winston Churchil, adalah salah satu biang keladinya. Tanah yang saat itu sudah dimiliki orang Palestina mereka pilih untuk tempat kembali padahal sebelumnya sempat ada opsi bahwa negara kaum Yahudi Zionis Israel akan didirikan di sebuah wilayah di kosong Argentina (Amerika Latin). Proses kembali ke Israel inilah yang disebut zionisme (kembali ke tempat suci, yakni gunung Zion yang ada di Israel).

Uniknya, meski warga Israel adalah kaum pendatang, mereka tak bisa terima bila ada warga imigran lain, atau orang non Yahudi, ikut tinggal atau menjadi warga negaranya. Bukti hal inilah yang kemudian menimpa orang asal Filipina, Rohan Ramirez. Semua permohonanya untuk tetap tinggal di Israel ditolak mentah-mentah. Meski, seperti yang dikatakan Juru bicara otoritas imigrasi, Sabine Haddad, kepada kantor berita AFP bahwa yang bersangkutan cukup lama, mencapai 10 tahun. ''Namun dia telah berada di Israel secara ilegal selama waktu itu.''

Adanya hal ini memang masih ada protes dari pihak UCI Israel. Mereka berpendapat bahwa mengirim Rohan dan anak-anak migran lainnya ke negara yang belum pernah mereka saksikan dan di mana mereka tidak bisa berbicara bahasa negara setempat, merupakan langkah tak tepat.

"(Rohan) belum pernah ke Filipina, dia tidak berbicara bahasa itu, bahasa Ibrani adalah bahasa pertamanya," kata Beth Franco kembali. Dia  kemudian mengatakan bahwa Rohan bertekad menjadi tentara Israel. "Dia melihat negara ini sebagai miliknya," lanjut Franco.

Sementara itu Haddad pun tidak dapat mengonfirmasi bahwa ibu dan anak itu sedang dalam perjalanan keluar dari negara itu. Dia hanya mengatakan bahwa ayah Rohan adalah warga negara Turki yang meninggalkan Israel beberapa tahun yang lalu.

Untuk diketahui, sekitar 28 ribu warga Filipina telah berada di Israel untuk bekerja sebagai pengasuh dan pekerja rumah tangga. Namun menurut UCI, sekitar 600 keluarga saat ini dapat menghadapi deportasi setelah kehilangan status tempat tinggal mereka.

Selama setahun ini 36 pengasuh beserta anak-anaknya yang lahir di Israel telah menandatangani pemberitahuan deportasi untuk pulang kembali ke negara asalnya pada rentang waktu 15 Juli dan 1 Agustus. Termasuk juga 25 warga Filipina, dua Nepal, satu India, dan satu Moldova.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement