REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG — Kegiatan di Bandara Internasional Hong Kong telah dibuka kembali pada Selasa (13/8) pagi, setelah sempat ditangguhkan sejak Senin (12/8) menyusul aksi protes yang digelar massa di terminal kedatangan. Namun, pihak berwenang mengatakan puluhan penerbangan menuju kota tersebut masih akan terdampak dengan situasi itu.
Operasi di salah satu bandara tersibuk di dunia itu dilanjutkan dan menurut laporan di situs web bandara Hong Kong, beberapa penerbangan telah diberangkatkan dan mendarat di sana. Sementara puluhan lainnya tetap dibatalkan atau ditunda, tanpa pemberitahuan lebih lanjut hingga kapan.
Ribuan demonstran menggelar aksi protes secara damai di bandara sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah. Namun, saat ini peserta yang terlihat berpakaian serba hitam itu telah mulai membersihkan poster dan perlengkapan yang mereka bawa dalam unjuk rasa tersebut.
Meski demikian, sebuah grafiti yang di antaranya tertulis dengan ‘an eye for an eye’ masih terlihat belum dibersihkan. Grafiti tersebut merujuk pada seorang pengunjuk rasa yang ditembak oleh polisi dalam aksi protes sebelumnya dan ia dilaporkan harus kehilangan fungsi penglihatannya di salah satu mata.
Penyelenggara protes mengatakan demonstrasi akan kembali dilanjutkan di bandara untuk memperlihatkan kepada masyarakat internasional tentang erosi demokrasi dan perpanjangan tangan Pemerintah China atas Hong Kong yang merupakan kota otonom. Rencananya aksi itu digelar pada hari yang sama, meski belum diketahui secara pasti akan dilakukan pada pukul berapa.
Pengunjuk rasa juga mengeluhkan maskapai penerbangan Hong Kong, Cathay Pacific yang melarang anggota staf dari perusahaan mereka mendukung protes ilegal. Jika ada yang turut serta dalam demonstrasi yang dianggap ilegal, maka sanksi pemecatan akan dilakukan.
Aturan baru dari Cathay Pacific datang setelah Pemerintah China mengumumkan larangan bahwa anggota staf maskapai yang terlibat dalam protes Hong Kong tidak boleh terbang di wilayah China daratan. Selama hampir 10 pekan, demonstrasi besar-besaran berlangsung di kota yang menjadi salah satu wilayah khusus administratif Negeri Tirai Bambu.
Gelombang demonstrasi Hong Kong dipicu Rancangan Undang-undang (RUU) Ekstradisi yang dianggap sebagai upaya untuk memperluas dan memperkuat pengaruh Bejing atas kota itu. Dengan ketentuan dalam RUU tersebut, orang-orang yang dianggap melakukan kejahatan dapat diadili secara langsung di China daratan.
Protes menentang undang-undang ekstradisi sejak itu berubah menjadi gerakan yang lebih luas terhadap pemerintah Hong Kong, kebrutalan polisi dan perambahan Beijing pada otonomi kota. Aksi tersebut menjadi salah satu krisis politik paling serius, sejak Hong Kong dikembalikan ke China oleh Inggris pada 1997, dengan ketentuan ‘satu negara dua sistem’ yang berarti Hong Kong dapat mempertahankan hak-hak khusus untuk kota tersebut.
Kekhawatiran terhadap kekerasan semakin meningkat menyusul pernyataan Pemerintah China dari Kantor Urusan Hong dan Makau yang mengatakan bahwa aksi protes yang terjadi mulai menunjukkan ke arah terorisme. Pihaknya menilai situasi ini merupakan ancaman eksistensial terhadap penduduk.
"Seseorang harus mengambil tindakan tegas terhadap aksi kriminal yang kejam ini, serta tidak menunjukkan keringanan hukuman atau belas kasihan," demikian bunyi pernyataan itu.
Sejumlah pakar hukum telah memperingatkan penunjukan peserta demonstrasi sebagai teroris mungkin menandakan niat China untuk memanfaatkan undang-undang anti-teror. Diyakini undang-undang tersebut diperluas, sehingga polisi dan pasukan keamanan dapat bertindak keras terhadap para demonstran di Hong Kong.