REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH – Perdana Menteri Palestina Mohammed Shtayyeh bertemu dengan 37 anggota Kongres Amerika Serikat (AS) di Ramallah, Selasa (13/8). Kesempatan itu mereka manfaatkan untuk membahas beberapa isu, terutama mundurnya proses perdamaian antara Israel dan Palestina.
Shtayyeh mengatakan Pemerintah AS, melalui keputusan-keputusannya, telah mendorong kegiatan permukiman Israel. Washington pun telah membatalkan semua masalah status akhir, termasuk Yerusalem, perbatasan, pengungsi, dan Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA).
Pada Desember 2017, AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Kemudian ia memutuskan menghentikan pendanaan rutinnya untuk UNRWA. Langkah itu diambil setelah Palestina menolak melanjutkan perundingan perdamaian dengan Israel yang dimediasi AS. UNRWA pun menghadapi krisis karena Washington merupakan penyandang dana terbesar.
Shtayyeh menilai hal itu menjadi penghambat utama terciptanya perdamaian. “Proses perdamaian membutuhkan niat serius. Israel tidak memiliki niat ini dan AS bias terhadap Israel,” ujarnya, seperti dikutip laman kantor berita Palestina, WAFA.
Dia mengatakan, setiap proses perdamaian membutuhkan kerangka acuan yang jelas dan harus sesuai dengan hukum internasional serta resolusi PBB. “Kami ingin hubungan antara AS dan Palestina menjadi independen dari Israel,” ucapnya.
Shtayyeh meyakinkan anggota Kongres AS bahwa Presiden Palestina Mahmoud Abbas adalah figur yang sangat mendambakan perdamaian. Dia telah melakukan segala upaya selama empat pertemuannya dengan Presiden AS Donald Trump guna menemukan formula perdamaian yang adil serta komprehensif.
“Kami tidak menghindari perdamaian dan tidak akan menerima apa pun yang kurang dari hak minimum resmi kami,” ujar Shtayyeh. Hak minimum yang dimaksud adalah pembentukan negara Palestina dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.