Kamis 15 Aug 2019 17:55 WIB

India Ubah Struktur Militer

India membuat jabatan baru yaitu kepala staf pertahanan.

Rep: Kamran Dikarma/Rizki Jaramaya / Red: Nur Aini
Perdana Menteri India Narendra Modi, 1 April 2019.
Foto: AP Photo/Mahesh Kumar A.
Perdana Menteri India Narendra Modi, 1 April 2019.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI – India melakukan perubahan dalam struktur militernya. Hal itu dilakukan dengan menghadirkan pos atau jabatan baru, yakni kepala staf pertahanan. Tugasnya adalah mengoordinasi angkatan darat, laut, dan udara.

“Pasukan kita adalah kebanggaan India. Untuk semakin mempertajam koordinasi, antara pasukan, saya ingin mengumumkan keputusan besar, India akan memiliki kepala staf pertahanan,” kata Perdana Menteri India Narendra Modi saat berpidato dalam acara peringatan kemerdekaan negaranya yang ke-72 di New Delhi, Kamis (15/8).

Baca Juga

Menurut Modi, pembentukan kepala staf pertahanan adalah langkah penting menuju reformasi militer. Nantinya tokoh yang akan mengisi jabatan tersebut akan diberi wewenang atas pendanaan untuk militer. Saat ini India sedang berupa memodernisasi peralatan militer era Soviet-nya.

Sebelum diumumkan Modi, para ahli pertahanan India telah lama menyerukan adanya jabatan seperti itu. Pada 1999, sebuah komite pemerintah juga pernah mengusulkan jabatan kepala staf pertahanan setelah India nyaris berperang dengan Pakistan akibat persengketaan di wilayah Kashmir. 

Selama ini, angkatan darat, laut, udara India dipimpin oleh jenderal masing-masing. Mereka tak memiliki jenderal yang mengoordinasi ketiga angkatan. Tujuannya adalah agar kekuasaan atau wewenang tidak terkonsentrasi pada satu komandan tunggal. 

Pembentukan pos atau jabatan untuk kepala staf pertahanan dilakukan ketika situasi Kashmir sedang bergolak. Hal itu dipicu oleh keputusan Modi mencabut status istimewa Jammu dan Kashmir pekan lalu. Ia kemudian mengubah status wilayah tersebut menjadi union teritory (UT).

Kendati memperoleh penentangan dari warga Kashmir dan negara tetangga, Pakistan, Modi tetap membela keputusannya. Dia menilai, status Kashmir terdahulu telah memicu gerakan separatisme. Ada pula ketidakadilan karena ketika seorang perempuan asal Kashmir menikah dengan lelaki dari luar wilayah itu, perempuan tersebut secara otomatis kehilangan hak warisnya.

“Pengaturan lama di Jammu, Kashmir, dan Ladakh mendorong korupsi, nepotisme, tapi ada ketidakadilan dalam hal hak-hak perempuan, anak-anak, kaum Dalit, komunitas suku,” kata Modi.

Kashmir, yang sebelumnya memiliki hak untuk merancang dan menerbitkan undang-undang sendiri, memang melarang warga dari luar wilayah untuk membeli atau memiliki properti serta tanah di sana. Dengan pencabutan status istimewanya, saat ini siapa pun diperkenankan membeli tanah atau properti di Kashmir. Sebuah hal yang dikhawatirkan mengubah budaya dan demografi wilayah tersebut. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement