Sabtu 17 Aug 2019 01:37 WIB

Anak Perempuan Tuntut Paduan Suara Katedral di Jerman

Paduan suara ini tidak pernah menerima satu pun anggota perempuan selama 554 tahun.

Rep: deutsche-welle/ Red:
Picu Debat Nasional, Anak Perempuan Tuntut Paduan Suara di Jerman
Picu Debat Nasional, Anak Perempuan Tuntut Paduan Suara di Jerman

Seorang gadis berusia sembilan tahun yang ditolak oleh salah satu paduan suara anak laki-laki paling terkenal di Jerman, menuntut paduan suara itu karena diskriminasi gender. Kasus ini memicu perdebatan nasional tentang kesetaraan hak versus kebebasan artistik.

Didirikan pada 1465, Staats- und Domchor (Paduan Suara Negara dan Katedral) tidak pernah menerima satu pun anggota perempuan selama 554 tahun. Anak perempuan itu awalnya mengikuti audisi dengan paduan suara tersebut pada Maret tetapi ditolak.

Menurut pengadilan, paduan suara menyatakan penolakan itu bukan karena jenis kelamin. Mereka menyebut anak perempuan itu akan berhasil jika suaranya cocok dengan karakteristik suara yang diinginkan dari paduan suara anak laki-laki.

Diskriminasi yang 'tidak diizinkan'

Sang Ibu telah mengajukan komplain atas nama putrinya dan mengatakan bahwa penolakan itu bersifat diskriminatif dan melanggar hak anaknya untuk mendapatkan kesempatan yang sama dari sebuah lembaga yang menerima dana negara. Pengacara gadis itu, Susann Braecklein, mengatakan bahwa klien mudanya melamar ke paduan suara pada 2016 dan 2018 dan ditolak dua kali tanpa ditawari audisi.

Dekan fakultas musik di Universitas Seni Berlin, yang berafiliasi dengan paduan suara, memberi tahu gadis itu secara tertulis bahwa seorang gadis tidak akan pernah bernyanyi dalam paduan suara anak laki-laki. Namun demikian, dia diundang untuk mengikuti audisi pada bulan Maret.

Namun sayang, anak perempuan itu ditolak lagi. Anak perempuan itu diberitahu bahwa ia tidak memiliki motivasi atau bakat yang diperlukan untuk bergabung dengan paduan suara.

Pro dan Kontra

Kasus ini telah menyebabkan perdebatan sengit di media Jerman tentang tradisi, budaya, bakat dan musikologi versus kesetaraan gender. Mereka yang berpihak pada paduan suara, berpendapat bahwa yang penting adalah nada, bukan bakat. Mereka menilai adanya suara perempuan akan mengakhiri suara tradisional paduan suara Staats-und Domchor.

Hannah Bethke, seorang kolumnis harian Frankfurter Allgemeine Zeitung, mengatakan bahwa tidak ada yang mengatakan perempuan tidak bisa bernyanyi. Penilaian itu harus diserahkan kepada para musisi. ''Siapa pun yang memperumit kesalahpahaman kesetaraan gender di sini, mengorbankan aset budaya,'' katanya.

Yang lain tetap bersikukuh bahwa masalahnya adalah masalah diskriminasi gender dan keterbelakangan. Abbie Conant, seorang trombonis dari Amerika Serikat, mengatakan bahwa banyak penelitian mengungkapkan musisi profesional pun tidak dapat dengan mudah untuk mendengar perbedaan antara paduan suara anak laki-laki dan anak perempuan yang menyanyikan repertoar yang sama.

Conant, yang menghadapi diskriminasi sebagai seorang wanita ketika pertama kali mulai bermain dengan Munich Philharmonic pada 1980, juga menunjukkan bahwa paduan suara anak laki-laki di negara-negara lain termasuk Inggris telah terbuka untuk anggota perempuan tanpa sengketa hukum. "Mengapa masyarakat tercerahkan seperti kita di Jerman ingin melanjutkan tradisi diskriminatif semacam ini?" katanya. na/ts (AP, dpa)

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement