Selasa 06 Aug 2019 13:09 WIB

Serangan Christchurch Pengaruhi Penembakan Lain

Pelaku penembakan Christchurch dan El Paso memiliki ideologi supremasi kulit putih.

Rep: Lintar Satria/ Red: Ani Nursalikah
Berbagai elemen masyarakat membuat tirai manusia ketika umat muslim melaksanakan sholat jumat pertama pascapenembangan di dua masjid kota Christchurch pada Jumat (15/3) di Kilbirnie, Wellington, Selandia Baru, Jumat (22/3/2019).
Foto: Antara/Ramadian Bachtiar
Berbagai elemen masyarakat membuat tirai manusia ketika umat muslim melaksanakan sholat jumat pertama pascapenembangan di dua masjid kota Christchurch pada Jumat (15/3) di Kilbirnie, Wellington, Selandia Baru, Jumat (22/3/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, CHRISTCHURCH -- Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg mengunjungi masjid Al-Noor di Christchurch, Selandia Baru. Dia meletakkan karangan bunga di depan monumen peringatan serangan 15 Maret yang menewaskan 51 orang. Di sana Stoltenberg berbicara tentang hubungan penembakan Christchurch dan El Paso.

"Serangan-serangan itu dilakukan oleh penyendiri, tapi di saat yang sama mereka saling terhubung. Saya pikir ini menunjukkan kami harus memerangi terorisme dengan berbagai cara, dengan berbagai alat," kata Stoltenberg, Selasa (6/8).

Baca Juga

Pelaku penembakan El Paso yang menewaskan 22 orang memuji serangan di dua masjid di Christchurch. Ada perbedaan di antara keduanya. Pelaku penembakan Christchurch Brenton Tarrant membenci Muslim, sementara pelaku penembakan El Paso Patrick Wood Crusius membenci orang Latin.

Namun keduanya memiliki ideologi supremasi kulit putih. Penembakan massal yang saat ini terjadi saling memiliki keterkaitan. Berbeda dengan penembakan massal sebelumnya di mana biasanya pelaku seorang penyendiri.

Penembakan massal yang terjadi baru-baru ini dipengaruhi idelogi supremasi kulit putih. Pelaku penembakan Christchurch dan El Paso merilis manifesto alasan mengapa mereka melakukan serangan.

"Christchurch menjadi simbol sejak manifesto Brenton Tarrant muncul di internet," kata professor dan peneliti keanekaragaman dan ketahanan masyarakat Deakin University Michele Grossman.

Grossman mengatakan ada perbedaan antara penembakan Christchurch dengan penembakan massal SMA Columbine yang dilakukan dua orang siswa. Penembakan yang menewaskan 15 orang itu dilakukan secara acak.

Salah satu pelaku penembakan SMA Columbine, Eric Harris menulis ingin membunuh umat manusia. Maka ia melakukan penembakan tanpa pandang bulu. Sementara penembakan Christchurch memiliki target khusus, yakni Muslim.

photo
Jens Stoltenberg.

"Dilihat dari manifestonya, penembakan Christchurch itu langsung tentang antara 'kami' dan 'mereka'; tanah kami tidak akan pernah jadi tanah mereka, mereka menginvansi kami, mereka mencoba menaklukan kami, dan kami harus melawan balik," kata Grossman.

Grossman menambahkan penembakan yang dilakukan akhir-akhir ini dirancang untuk mengajak orang lain melakukan kekerasan yang serupa. Ia mengatakan ada tanda penembakan-penembakan yang terbaru untuk mempelopori sebuah gerakan revolusi.

"Untuk menginspirasi orang dengan mengatakan 'jika saya bisa melakukannya, kami juga bisa'," tambah Grossman.

Salah satu penyintas penembakan Christchurch, Bari, masih hidup dalam ketakutan. Ia bersembunyi di kamar mandi masjid Linwood saat Tarrant menembaki orang-orang di dalam masjid. Ketika polisi tiba, Bari harus melompati jenazah-jenazah jamaah yang tidak berhasil kabur.

"Ideologinya itu ada, dan kami tahu itu, dan ini sangat disayangkan sekarang orang-orang bertindak sebagai penirunya, tentu bagi setiap Muslim yang tinggal di Barat itu sangat mengkhawatirkan, kami bisa merasakannya, dapat terjadi kapan saja, di mana saja," kata Bari.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement