Kamis 01 Aug 2019 17:23 WIB

Cina Ditantang Buktikan Klaim Pembebasan Warga Uighur

Diaspora Uighur mengaku keluarga mereka masih berada di kamp penahanan.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Ani Nursalikah
Seorang lelaki Uighur memasuki Masjid Id Kah untuk melaksanakan shalat  di kota tua Khasgar, Daerah Otonomi Xinjiang Uighur, China.
Foto: Thomas Peter/Reuters
Seorang lelaki Uighur memasuki Masjid Id Kah untuk melaksanakan shalat di kota tua Khasgar, Daerah Otonomi Xinjiang Uighur, China.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Diaspora Uighur meragukan klaim Cina yang menyatakan sebagian besar penghuni kamp reedukasi dan vokasi di Xinjiang telah dibebaskan. Melalui media sosial, mereka menantang Beijing membuktikan klaimnya tersebut.

"Ini sama sekali tidak benar. Salah satu sepupu saya dan salah satu teman pemandu wisata saya, serta suami teman saya, mereka masih di kamp," kata Guly Mahsut, seorang Uighur yang kini tinggal di Kanada, dikutip The Guardian, Kamis (1/8).

Baca Juga

Mahsut dan diaspora Uighur lainnya telah menggelorakan tagar "Provethe90%" di media sosial. Itu merupakan bentuk tuntutan mereka agar Cina membuktikan 90 persen penghuni kamp telah bebas.

Arfat Erkin, seorang mahasiswa Uighur yang tinggal di Amerika Serikat (AS) mengatakan China tak perlu mengatakan mereka telah membebaskan 90 persen penghuni kamp di Xinjiang. "Yang dibutuhkan adalah memberi wartawan akses normal ke kamp-kamp itu, bukan kamp yang dipentaskan, dan memberikan izin resmi bagi warga Uighur menghubungi kerabat mereka di luar negeri," kata dia.

Erkin mengaku menyangsikan sebagian besar penghuni kamp di Xinjiang telah dibebaskan. "Ini seperti lelucon. Banyak orang masih ditahan, termasuk ayah saya dan kerabat lainnya," ujarnya.

Diaspora Uighur lainnya, Arslan Hidayat, mengaku masih tak bisa menghubungi kerabatnya di Xinjiang. Meskipun dia mengetahui ada informasi China telah membebaskan sebagian besar penghuni kamp, Hidayat meragukan hal itu bersifat permanen.

"Mereka masih di Xinjiang dan mereka dapat ditahan kembali secara sewenang-wenang," kata Hidayat.

photo
Pagar penjagaan di kamp penahanan, yang secara resmi disebut pusat pendidikan keterampilan di Xinjiang untuk Muslim Uighur.

Organisasi hak asasi manusia (HAM) Amnesty International turut meragukan klaim China. Menurutnya, sulit memverifikasi kebenaran fakta sebagian besar penghuni kamp di Xinjiang telah dibebaskan.

 

"China membuat pernyataan yang menipu dan tidak dapat diverifikasi dalam upaya sia-sia menghilangkan kekhawatiran di seluruh dunia atas penahanan massal warga Uighur dan anggota etnis minoritas lainnya di Xinjiang," kata Direktur Amnesty International untuk Asia Timur Nicholas Bequelin.

Hingga saat ini Amnesty International belum menerima laporan tentang adanya pembebasan penghuni kamp berskala besar di Xinjiang. Pemerintah Provinsi Xinjiang telah mengatakan sebagian besar penghuni kamp reedukasi dan vokasi di wilayahnya telah keluar dan menandatangani kontrak kerja dengan perusahaan lokal. Namun, tak disebutkan secara spesifik jumlah mereka.

“Sebagian besar lulusan dari pusat pelatihan kejuruan telah diintegrasikan kembali ke masyarakat. Lebih dari 90 persen lulusan telah menemukan pekerjaan yang memuaskan dengan pendapatan yang baik,” kata Gubernur Xinjiang Shohrat Zakir dalam konferensi pers di Beijing, dilaporkan laman Aljazirah, Selasa (30/7).

Pada kesempatan itu, Zakir enggan menyebutkan berapa banyak peserta yang mengikuti pendidikan di pusat-pusat vokasi di Xinjiang. Dia hanya menyatakan program itu adalah pendekatan yang efektif dan perintis untuk melawan terorisme.

Juru bicara The World Uyghur Congress Dilxat Raxit meragukan keterangan Zakir. Menurutnya Zakir adalah “mikrofon politik” yang biasa dimanfaatkan Beijing untuk menyebarkan muslihat. “Pernyataan Shohrat Zakir sepenuhnya mendistorsi realitas penganiayaan sistematis yang dialami warga Uighur di China,” ujarnya.

Pemerintah China menghadapi tekanan internasional karena dituding menahan lebih dari satu juta Muslim Uighur di kamp-kamp konsentrasi di Xinjiang. Tak hanya menahan, Beijing disebut melakukan indoktrinasi terhadap mereka agar mengultuskan Presiden China Xi Jinping dan Partai Komunis China.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement