REPUBLIKA.CO.ID, DARFUR -- Koalisi oposisi utama serta dewan militer berkuasa Sudan pada Sabtu menandatangani perjanjian akhir mengenai pembagian kekuasaan. Perjanjian itu membuka jalan bagi pembentukan pemerintahan peralihan setelah pemimpin negara itu yang lama berkuasa, Omar al-Bashir, digulingkan.
Stabilitas di Sudan, negara yang selama ini terbelenggu krisis ekonomi, dianggap sangat penting bagi kawasan Tanduk Afrika hingga ke Mesir dan Libya. Dewan Militer Peralihan (TMC) telah menjalankan kekuasaan di Sudan sejak April, yaitu ketika militer menggulingkan Bashir.
Bashir terguling dari kursi kekuasaan setelah gelombang unjuk rasa berlangsung selama berbulan-bulan untuk menentang kepemimpinannya. Puluhan pengunjuk rasa tewas pada masa-masa protes tersebut.
Bashir saat ini diburu atas kejahatan perang di Darfur, Sudan, oleh Mahkamah Pidana Internasional dan sedang menunggu untuk disidangkan atas dakwaan korupsi. TMC dan koalisi oposisi utama, yang dikenal sebagai Kekuatan Kebebasan dan Perubahan (FFC), telah selama berbulan-bulan merundingkan pembagian kekuasaan.
Salah satu jenderal terkemuka Sudan, Mohamed Hamdan Dagalo, yang adalah wakil kepala TCM, serta perwakilan FFC, Ahmad al-Rabie, memaraf perjanjian itu pada 4 Agustus dan menjadi penandatangan utama pada Sabtu. Acara penandatanganan itu dihadiri oleh sejumlah tokoh penting di kalangan regional dan internasional, termasuk Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed dan Presiden Sudan Selatan Salva Kiir.