Selasa 20 Aug 2019 13:05 WIB

Kampus Singapura Batalkan Pertukaran Pelajar ke Hong Kong

Singapura menerbitkan peringatan perjalanan ke Hong Kong.

Rep: Puti Almas/ Red: Nur Aini
Ratusan siswa dan guru melakukan aksi unjuk rasa di Hong Kong, Sabtu (17/8).
Foto: AP Photo/Vincent Yu
Ratusan siswa dan guru melakukan aksi unjuk rasa di Hong Kong, Sabtu (17/8).

REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA — Sejumlah universitas di Singapura telah membatalkan program pertukaran pelajar ke Hong Kong menyusul peringatan perjalanan yang dikeluarkan pemerintah negara itu pada Selasa (20/8). Dalam peringatan tersebut, warga diminta untuk menunda perjalanan ke kota tersebut, di tengah gelombang demonstrasi yang terjadi. 

Kementerian Luar Negeri Singapura pada pekan lalu juga telah memperingatkan agar warga negara itu tidak melakukan perjalanan, khususnya yang tak bersifat mendesak ke Hong Kong. Peringatan tersebut dikeluarkan atas kekhawatiran adanya aksi protes yang lebih besar, serta kekerasan yang tak dapat diprediksi. 

Baca Juga

Sejumlah universitas di Singapura yang menyarankan agar para mahasiswa yang hendak mengikuti program pertukaran ke Hong Kong untuk membatalkan rencana tersebut, di antaranya adalah National University of Singapore, Nanyang Technological University, dan Singapore Management University. Meski demikian, belum ada komentar resmi yang diberikan oleh institusi pendidikan tersebut. 

Gelombang protes terjadi di Hong Kong sejak Juni lalu sebagai bentuk penentangan terhadap Rancangan Undang-undang (RUU) yang di dalamnya memungkinkan tersangka dalam suatu kejahatan diekstradisi ke China daratan dan diadili oleh pengadilan yang dikontrol oleh pemerintah pusat hCina. RUU tersebut dinilai sebagai upaya  memperluas dan memperkuat pengaruh Beijing di kota otonom tersebut. 

Aksi tersebut terus meluas dan menjadi salah satu krisis politik paling serius, sejak Hong Kong dikembalikan ke China oleh Inggris pada 1997, dengan ketentuan ‘satu negara dua sistem’ yang berarti Hong Kong dapat mempertahankan hak-hak khusus untuk kota tersebut. Hingga saat ini, kota yang dikenal sebagai pusat bisnis di timur Asia itu berada di ambang resesi terburuk dalam satu dekade. Sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat (AS) mengingatkan agar China tidak melakukan tindakan keras seperti peristiwa Tiananmen pada 1989. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement