Rabu 21 Aug 2019 13:33 WIB

Pengungsi Rohingya Menolak Dipulangkan ke Myanmar

Pengungsi Rohingya menilai belum ada jaminan keselamatan jika kembali ke Myanmar.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Sejumlah warga Rohingya menunggu di truk Polisi Myanmar untuk dibawa kembali menuju penampungan sementara yang didirika pemerintah di Desa ManSi dekat Sittwe, Negara Bagian Rakhinne, Myanmar, Rabu (21/11).
Foto: Nyunt Win/EPA EFE
Sejumlah warga Rohingya menunggu di truk Polisi Myanmar untuk dibawa kembali menuju penampungan sementara yang didirika pemerintah di Desa ManSi dekat Sittwe, Negara Bagian Rakhinne, Myanmar, Rabu (21/11).

REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA – Para pengungsi Rohingya di Bangladesh menolak direpatriasi atau dipulangkan ke Myanmar. Mereka menilai belum ada jaminan keselamatan jika harus kembali ke desa asalnya di Negara Bagian Rakhine.

Komisaris pengungsi Bangladesh Abul Kalam mengatakan terdapat 21 keluarga dari 1.056 yang dipilih untuk repatriasi bersedia diwawancarai oleh para pejabat tentang apakah mereka ingin kembali. Tak satu pun dari keluarga tersebut menyatakan keinginannya untuk pulang ke Rakhine.

Baca Juga

“Kami ingin jaminan kewarganegaraan terlebih dulu dan mereka harus memanggil kami Rohingya, lalu kami bisa pergi. Kami tidak bisa pergi tanpa hak kita,” kata Ruhul Amin, seorang kepala keluarga yang sempat diwawancarai komisi pengungsi Bangladesh dan Badan PBB untuk Pengungsi (UNHCR), dikutip laman the Guardian, Rabu (21/8).

Abul Kalam mengatakan, saat ini spara pengungsi telah lebih leluasa dan mengalir saat diwawancara. “Mereka pergi ke pejabat untuk wawancara dan berbicara dengan bebas. Ini sangat positif, mereka sekarang memahami situasi dengan lebih baik,” ujarnya.

Namun, dia cukup mengerti alasan mengapa mereka masih segan untuk pulang ke Rakhine. “Kami memiliki besok. Saya berharap bahwa banyak keluarga lain akan menghadapi wawancara,” ujar Kalam.

Organisasi Burma Human Rights Network (BHRN) meminta PBB, Uni Eropa, dan ASEAN menetapkan syarat-syarat bagi proses repatriasi pengungsi Rohingya. Satu di antaranya adalah status kewarganegaraan.

“Langkah-langkah ini harus mencakup status kewarganegaraan bagi Rohingya, sebuah mekanisme yang berfungsi untuk memastikan keselamatan mereka yang kembali, pertanggung jawaban para tokoh yang militer yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia, dan sebuah rencana konkret untuk mengembalikan Rohingya ke desa asa mereka serta properti mereka dipulihkan atau diganti sepenuhnya jika mereka dihancurkan militer,” kata BHRN dalam sebuah pernyataan pada Selasa (20/8), dikutip laman Anadolu Agency.

BHRN mengatakan, perjanjian repatriasi pernah direncanakan sebelumnya. Namun hal itu menuai perlawanan dan penentangan dari penduduk Rohingya. Sebab mereka menilai kondisi di Negara Bagian Rakhine belum sepenuhnya aman. Di sisi lain, Myanmar juga masih enggan menjamin status kewarganegaraan Rohingya.

Presiden Rakhine Solidarity Organization (RSO) Mohammad Ayyub mengatakan, sejauh ini belum ada pemulangan pengungsi Rohingya. Menurutnya, para pemimpin pengungsi Rohingya belum ada yang diajak berkonsultasi dan tidak mengetahui mengenai proses tersebut.

Dia mendesak agar hak asasi manusia dan sipil Rohingya dipulihkan sebelum repatriasi dilakukan. “Myanmar harus segera menghentikan kekerasan dan pembersihan etnis di Negara Bagian Rakhine segera dan secara permanen memulai proses repatriasi,” kata Ayyub. 

Pekan lalu, Myanmar mengatakan telah mencapai kesepakatan dengan Bangladesh untuk memulai proses repatriasi pengungsi Rohingya. Mereka pun telah meminta bantuan UNHCR. Myanmar telah memverifikasi bahwa keluarga terpilih, terdiri dari 3.450 orang, melarikan diri ke Bangladesh pasca-operasi militer di Rakhine. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement