Rabu 21 Aug 2019 16:57 WIB

Ekonomi Hong Kong Terancam Anjlok

Demonstrasi di Hong Kong telah berlangsung selama 11 pekan.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nur Aini
Ratusan siswa dan guru melakukan aksi unjuk rasa di Hong Kong, Sabtu (17/8).
Foto: AP Photo/Vincent Yu
Ratusan siswa dan guru melakukan aksi unjuk rasa di Hong Kong, Sabtu (17/8).

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Salah satu bank besar di Hong Kong, Bank of East Asia Ltd memperingatkan bahwa aksi protes yang telah berlangsung selama berminggu-minggu dapat menghantam perekonomian Hong Kong dan Cina daratan. Dalam sebuah pernyataan, bank tersebut mengatakan, ketegangan yang terjadi di Hong Kong akan berdampak pada kepercayaan konsumen, bisnis, dan menurunnya pariwisata.

"Situasi terkini di Hong Kong menyebabkan kekhawatiran bagi UKM lokal. Jika kondisi ini terus berlanjut maka akan mempengaruhi pariwisata, perdagangan ritel, serta kepercayaan investor," ujar Co-Chief Executive Bank of East Asia, Adrian Li, Rabu (21/8).

Baca Juga

Bank of East Asia membukukan penurunan laba bersih pada semester pertama 2019 sebesar 75 pesen, setelah mencatatkan pinjaman di China karena penurunan pasar properti komersial. Selain itu, bank tersebut harus menutup sejumlah cabangnya yang berada dekat dengan tempat aksi demo. 

Para demonstran memiliki lima tuntutan yakni pencabutan lengkap RUU ekstradisi, penghentian deskripsi protes sebagai "kerusuhan", pengabaian tuduhan terhadap mereka yang ditangkap, penyelidikan independen, dan dimulainya kembali reformasi politik. Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam menegaskan, perekonomian Hong Kong menghadapi risiko penurunan akibat aksi protes yang terus berkelanjutan.

"Ekonomi Hong Kong menghadapi risiko penurunan. Kita bisa melihat ini dari data di paruh pertama tahun ini. Sebenarnya, saya pikir data di paruh pertama belum sepenuhnya mencerminkan keseriusan masalah," kata Lam.

Para pengunjuk rasa dilaporkan kembali melakukan aksinya dengan berkumpul di stasiun kereta api transit Yuen Long. Rangkaian demonstrasi yang sudah berlangsung selama 11 pekan tak jarang berujung menjadi kekerasan. Sehingga, bentrokan antara polisi dan para pengunjuk rasa tak dapat dihindari.

Aksi protes itu memicu reaksi tajam dari Beijing, yang menuduh negara-negara asing, termasuk Amerika Serikat (AS) memiliki andil untuk mendorong kerusuhan di Hong Kong. Selain itu, China juga telah mengirimkan peringatan bahwa intervensi paksa kemungkinan akan dilakukan dan pasukan paramiliter telah menggelar latihan di Shenzhen.

Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menegaskan agar China menghormati komitmen "satu negara, dua sistem". Berbicara kepada CBS This Morning, Pompeo menyoroti pernyataan Presiden AS Donald Trump yang memberikan peringatan kepada Beijing bahwa ketegangan di Hong Kong dapat berujung pada protes pro-demokrasi di Lapangan Tiananmen pada 1989. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement