Kamis 22 Aug 2019 14:37 WIB

Sewa Tempat Tinggal di Hong Kong Diprediksi Anjlok

Demonstrasi yang terus berlanjut menjadi penyebab sewa tempat tinggal turun.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Nur Aini
Pengunjuk rasa terlibat bentrok dengan polisi saat demonstrasi di stasiun kereta Yuen Long MTR di Hong Kong, Rabu (21/8).
Foto: AP Photo/Kin Cheung
Pengunjuk rasa terlibat bentrok dengan polisi saat demonstrasi di stasiun kereta Yuen Long MTR di Hong Kong, Rabu (21/8).

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Sewa tempat tinggal Hong Kong diprediksi menurun karena protes anti-pemerintah terus berlanjut di kota. Menurut sebuah survei yang dilakukan oleh Royal Institute of Chartered Surveyors yang dirilis pada Kamis (22/8), para profesional real estate memperkirakan sewa di pulau utama Hong Kong akan jatuh dua persen pada tahun depan.

Hasil itu merupakan pembalikan dari perkiraan kenaikan tiga persen dalam survei sebelumnya yang diadakan tepat saat protes skala besar dimulai pada Juni.

Baca Juga

"Peristiwa baru-baru ini berfungsi sebagai pengingat nyata bahwa Hong Kong memiliki 28 tahun 'satu negara, dua sistem tersisa', dan selama waktu itu, ada potensi untuk gejolak yang signifikan," kata Chief operating officer di Spacious, James Fisher, sebuah  platform daftar properti online yang melakukan survei dengan lembaga Chartered Surveyors, dilansir dari Straits Times, Kamis (22/8).

"Ini bisa memicu gelombang ketiga emigrasi ke luar negeri, karena banyak orang di Hong Kong sudah memiliki paspor luar negeri," ucap Fisher.

Berdasarkan data dari Rating and Valuation Department Hong Kong menunjukkan, sewa perumahan naik hampir delapan persen dalam dua tahun hingga Juni mendekati rekor tertinggi. Hong Kong merupakan kota termahal di dunia untuk menyewa apartemen dua kamar tidur kelas menengah, berdasarkan laporan "Mapping the World's Prices" 2019 Deustche Bank AG. Dengan 3.685 dolar AS sebulan, biayanya 27 persen lebih tinggi dari yang dibayarkan di New York.

Protes yang berlangsung beberapa pekan mulai berpengaruh pada pasar properti kota itu. Unjuk rasa yang telah berubah dari awalnya menentang Rancangan Undang Undang (RUU) ekstradisi, menjadi penolakan besar-besaran terhadap China.

"Protes memang tetap menjadi perhatian utama peserta survei, dengan beberapa responden menyoroti itu sebagai risiko penurunan yang terus-menerus terjadi," Ekonom senior institut untuk Asia Pasifik, Sean Ellison.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement