Perusahaan tambang Australia Lynas yang beroperasi di Malaysia kini "diusir" dari sana setelah limbah radioaktifnya didapati semakin menumpuk. Tapi PM Mahathir Muhammad menyebut limbah ini tak berbahaya bagi warga setempat.
Selain perusahaan China, Lynas adalah satu-satunya produsen mineral langka di dunia saat ini. Mineral langka sangat penting dalam produksi peralatan berteknologi tinggi termasuk telepon pintar, peluru kendali laser dan baterai mobil listrik.
Bijih mineral langka ini ditambang di Australia Barat dan dikirim ke Malaysia karena biaya pemrosesan jauh lebih murah. Limbah radioaktif tingkat rendah merupakan produk sampingan dari proses pengayaan mineral ini.
Dalam aksi demo di Kuantan belum lama ini, ratusan warga menentang keputusan Perdana Menteri Dr Mahathir Mohamad untuk memperpanjang izin operasi Lynas.
"Radioaktif akan turun-temurun ke anak cucu kita," kata Moses Lim, insinyur kimia yang ikut memprotes perusahaan itu.
"Kita mungkin sudah tiada, tapi cucu kita akan menyesali kita semua," katanya.
Lim menyebut permasalahan ini akan menodai "nama baik Australia" di mata jutaan rakyat Malaysia. "Saya tak mengerti mengapa Lynas, sebuah perusahaan Australia, melakukan hal di ke Malaysia," katanya.
Namun Dr Mahathir (94 tahun) menampik kritikan tersebut. "Ini bukan Chernobyl. Tidak akan berbahaya," katanya.
Pasrah saja
Permasalahan ini telah memecah-belah masyarakat setempat, yang sebagian bekerja di pabrik pengolahan itu dengan gaji tinggi.
Seorang ibu yang ditemui di pasar ikan Kuantan dan tak mau disebutkan namanya mengaku khawatir bahan makanannya akan terkontaminasi radioaktif.
"Saya takut, tapi tidak punya pilihan selain membeli ikan dari sini. Kami terima saja nasib ini," katanya seraya menambahkan Lynas harus ditutup demi lingkungan sekitar.
Warga lainnya berpendapat tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Mereka menyalahkan politisi yang memanfaatkan masalah ini. Salah seorang nelayan setempat bernama Raja Haris bin Raja Saleh mengatakan penduduk di sana sama sekali tidak takut.
"Lynas sama dengan agen dan pabrik lain yang memproduksi bahan kimia. Tuduhan terhadap Lynas itu bersifat politis," katanya.
Limbah jadi isu beracun
Masalah limbah radioaktif Lynas telah jadi racun politik bagi koalisi yang pimpinan Dr Mahathir, yang sebelumnya berjanji menentang penutupan perusahaan Australia ini.
Setelah mengambilalih pemerintahan dalam pemilu tahun lalu, mereka telah menunjukkan dukungannya. Lynas misalnya diizinkan terus beroperasi selama enam bulan sampai menemukan lokasi lainnya yang cocok di Malaysia.
Di lokasi baru itu, rencananya, akan dijadikan tempat pembuangan permanen 580.000 ton limbah radioaktif tingkat rendah yang saat ini masih ditimbun di Kuantan.
Lynas juga diberikan waktu empat tahun untuk merelokasi operasi pemrosesan dan pencucian ke Australia Barat.
Keputusan ini mengecewakan Wong Tak, seorang anggota parlemen Malaysia dari faksi pemerintah.
Politisi yang sudah lama menentang Lynas ini menyatakan Koalisi Pakatan Harapan pimpinan Dr Mahathir kemungkinan pecah gara-gara isu ini.
Menurut dia, sebagian besar politisi faksi pemerintah yang tidak duduk di kabinet mendukung aksi mereka. "Bahkan mayoritas anggota kabinet bersama rakyat (dalam isu ini)," ujarnya.
Dr Mahathir yang bersikap pragmatis mengatakan keputusan memperpanjang izin Lynas didasarkan pada pendapat ahli, bukan "pandangan populer".
Pilihannya, menurut dia, yaitu menyingkirkan industri ini dan kehilangan kredibilitas dalam investasi asing atau mengatasi permasalahannya.
Tanggapan Lynas
Dalam pernyataannya kepada ABC, Lynas menjelaskan perpanjangan izin operasi di Malaysia "memberikan langkah yang jelas untuk kelanjutan operasi kami".
"Kami mendapat dukungan kuat dari pegawai kami dan masyarakat setempat sehingga kami yakin bisa memenuhi persyaratan izin itu," kata juru bicara Lynas.
Pekan lalu CEO Lynas Amanda Lacaze mengatakan optimis "politisasi" Lynas bisa diselesaikan. Dia menyebut perusahaan ini membelanjakan 200 juta dolar lebih untuk perekonomian lokal setiap tahun.
Nasib Lynas di Malaysia mendapat perhatian di berbagai negara di tengah kekhawatiran bahwa mineral langka ini akan jadi alat bargaining dalam perang perdagangan AS-China.
Pada 2010, pasokan mineral jarang China ke Jepang tiba-tiba dihentikan selama dua bulan menyusul sengketa teritorial atas Kepulauan Senkaku, yang memicu kemarahan China.
Pembangunan pabrik Lynas di Malaysia pada 2011 sebagian besar didanai oleh Jepang yang membutuhkan pasokan berkelanjutan material langka ini. China saat ini memegang monopoli produksi mineral langka, sementara Lynas hanya memproduksi sekitar 13 persen dari pasokan global.
Simak berita selengkapnya dalam Bahasa Inggris di sini.