Aryan dan puluhan teman-temannya sengaja mogok makan untuk memprotes status mereka yang tak kunjung jelas di Indonesia. Enggan kembali ke negara asal, beberapa dari mereka bahkan mengubur asa untuk menetap di negara impian asalkan dimukimkan kembali dengan status resmi.
Poin utama:
· Pengungsi keluhkan sikap UNHCR yang menurut mereka diskriminatif terhadap pengungsi lajang· Pengungsi ingin segera dimukimkan kembali secara resmi ke negara ketiga
· Shelter Kalideres akan ditutup dan salah satu opsi bagi pengungsi adalah pulang ke negara asal
"Tiga hari sejak Senin (19/8/2019) kami demo di depan kantor UNHCR."
"Sudah mogok makan dua hari ini, tanpa air," kata Aryan, yang bernama asli Zabihullah Hussaini, seorang pengungsi Afghanistan yang kini berada di Jakarta, kepada ABC (21/8/2019).
Hingga berita ini diturunkan, Kamis (22/8/2019), Aryan dan puluhan pengungsi lainnya masih terlihat berunjuk rasa di depan kantor Badan PBB yang mengurusi masalah pengungsi itu, di bilangan Thamrin, Jakarta Pusat.
Namun mereka tak lagi mogok makan setelah beberapa pengungsi jatuh sakit kemarin.
Aryan berujar, unjuk rasa akan terus mereka lakukan sampai tuntutan mereka dipenuhi.
"Tidak tahu sampai kapan. Tujuan kami dimukimkan kembali."
"Tak masalah apakah itu di Australia atau negara lain," tutur pengungsi yang sudah berada di Indonesia selama 6 tahun ini.
Pemuda 27 tahun ini bahkan menyebut beberapa pengungsi sudah merasa bahagia jika dimukimkan kembali di Indonesia secara resmi. Tapi memang tak semuanya.
Sebagian besar teman Aryan sesama pengungsi menginginkan Australia sebagai pelabuhan terakhir mereka. Kini, keinginan itu menyurut. Tak lagi terpatok negara tertentu, mereka hanya ingin diberi kejelasan status dan bermukim kembali dengan tenang.
Di sisi lain, tak hanya masalah kepastian status yang membuat Aryan turun ke jalan.
Ia, dan tentu saja teman-teman sesama pengungsi, ingin agar proses pemukiman kembali berjalan adil.
Selama ini, lajang seperti dirinya, dan teman-temannya yang berunjuk rasa tersebut, dipandang sebelah mata.
"Kami ingin dunia tahu UNHCR Indonesia melakukan proses pemukiman kembali yang tidak adil khususnya terhadap pengungsi yang masih lajang," kata pemuda yang masuk ke Indonesia lewat kapal ke Sumatera ini.
"Ini diskriminasi."
Ia heran mengapa lembaga seperti UNHCR yang mengagung-agungkan kesetaraan justru, dirasakannya, melakukan diskriminasi terhadap pengungsi.
"Ada pengungsi yang sudah ada di sini 7-8 tahun tapi belum dimukimkan kembali."
"Tapi saya juga lihat ada pengungsi yang datang ke Indonesia tahun 2015 dan kini mereka sudah dimukimkan kembali ke negara ketiga."
"Ini benar-benar tak adil," keluhnya kepada ABC.
Lelah merasa terdiskriminasi
Ketidakadilan juga dikeluhkan Mohammad Amin Ahmadi (21), pengungsi asal Afghanistan lainnya yang terdampar di Jakarta.
Sama seperti Aryan, Mohammad juga belum berkeluarga dan mengungsi seorang diri.
Ia mengamati, pengungsi yang berkeluarga sebagian besar sudah dimukimkan kembali, tapi lain halnya dengan pengungsi lajang.
"Sebagian besar pengungsi lajang dari tahun 2013 atau bahkan 2012 masih terjebak di sini. Tapi keluarga yang baru datang tahun 2014 dan 2015 malah sudah pergi (dimukimkan kembali)," ucap pemuda yang sudah berada di Jakarta sejak usia 16 tahun ini.
Mohammad mengatakan, ia lelah berada dalam situasi ketidakpastian. Dan sama seperti Aryan, ia hanya ingin hidup tenang di manapun negaranya.
"Tak satupun orang dari UNHCR menjawab permohonan kami," ujarnya.
Beberapa pihak, sebut Mohammad, mengatakan negara-lah yang memilih para pengungsi untuk dimukimkan kembali.
"Dan beberapa lainnya bilang UNHCR-lah yang memilih."
"Dan lembaga ini sebagian besar memilih pengungsi berkeluarga."
Unjuk rasa, lanjut pemuda ini, adalah pilihan mereka satu-satunya.
"Kami akan terus menunggu jawaban dan setidaknya menyebar kesadaran bahwa pengungsi lajang juga punya keluarga."
Meski demikian, ia berharap tak selamanya tinggal di Indonesia. Mohammad menilai situasi di negara ini kurang cocok bagi dirinya.
"Itu (tinggal di Indonesia) akan menantang."
"Mungkin bukan untuk saya. Karena saya mau hidup bersama keluarga dengan aman suatu hari."
"Dan tampaknya sulit mendapat hal itu tanpa pekerjaan atau pendidikan di sini."
Di awal kedatangannya ke Jakarta, Mohammad sempat tinggal di tempat penampungan pengungsi (shelter) di wilayah Kalideres, Jakarta Barat. Tapi ia tak bertahan lama.
"Saya tinggal di sana cuma dua hari. Terlalu banyak orang."
Beuntung ia memiliki teman yang bersedia menampungnya, sehingga dirinya memiliki pilihan tempat tinggal walau tetap berjuang memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa pekerjaan pasti.
Tapi tidak dengan seribuan pengungsi yang masih bertahan di Kalideres. Mereka terpaksa berbagi ruang dengan sesak.
Nasib mereka bahkan segera terkatung-katung karena Pemerintah DKI Jakarta berencana menutup lokasi ini.
Shelter kalideres akan ditutup
Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DKI Jakarta (Kesbangpol), Taufan Bakri, mengatakan pihaknya akan menutup shelter Kalideres per tanggal 31 Agustus 2019, setelah sebelumnya mengadakan sosialisasi kepada para pengungsi.
"Pemerintah (DKI) dan masyarakat kemampuannya terbatas dalam menolong mereka."
"Maka dengan keadaan seperti itu kami minta maaf tidak bisa lagi memberikan bantuan," jelasnya kepada ABC (21/8/2019).
Layanan yang dihentikan bertahap yaitu bantuan makanan, kemudian bantuan air, bantuan kesehatan pasokan listrik dan beberapa kebutuhan dasar lainnya.
"Per tanggal 31 nanti gedungnya akan kami tutup, segel dan akan dibersihkan untuk mungkin digunakan untuk kegiatan lain."
Selama ini, Pemerintah DKI tidak memiliki dana khusus dalam membantu para pengungsi. Menurut Taufik, bantuan diberikan dengan menggunakan dana kontigensi bencana, khususnya bencana kebakaran yang dimiliki dinas sosial.
Taufik juga mengaku pihaknya telah berunding dengan UNHCR dan Organisasi Migrasi Internasional (IOM). Ke depannya, para pengungsi akan memiliki dua opsi.
"Mereka diharapkan pulang kampung ke masing-masing negara. Bukan dengan paksaan."
"Kita akan undang Dubes (duta besar) Afghanistan beri pemaparan kalau konflik di Afghanistan tidak lagi meruncing seperti diawal-awal, negara mereka sudah damai dan IOM akan memulangkan mereka secara gratis ke negara mereka masing-masing," jelas Taufik.
Pilihan lain datang dari UNHCR yang, menurut penuturan Kepala Kesbangpol ini, akan meminta negara-negara ketiga untuk memukimkan para pengungsi di negaranya.
"Tapi kita tidak tahu apakah itu akan berhasil atau tidak, itu diluar kemampuan saya menjangkaunya," pungkas Taufik.
Simak informasi studi, bekerja, dan tinggal di Australia hanya di ABC Indonesia dan bergabunglah dengan komunitas kami di Facebook.