Senin 26 Aug 2019 07:41 WIB

Festival Tradisional di Belgia Dikritik karena Rasialis

Festival Ducasse d'Ath menampilkan the savage, orang kulit putih yang dicat hitam.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
The savage dalam festival di Belgia
Foto: Reuters
The savage dalam festival di Belgia

REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSEL -- Ratusan penonton bersorak dan bertepuk tangan saat pemeran utama parade Ducasse d’Ath yang dikenal 'the savage' atau orang barbar tampil. Festival di kota Ath, Belgia itu menuai kritikan. Kelompok anti-rasialisme menilai karakter dalam parade tersebut rasialis. 

Parade itu sudah ada sejak abad ke-16 dan diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya. Festival digelar di berbagai tempat di kota kecil Ath yang terletak 60 kilometer dari Brussels. 

Baca Juga

Setiap tahunnya parade itu menampilkan the savage, seorang laki-laki kulit putih yang seluruh tubuhnya dicat hitam. Kepala karakter itu dihiasi topi perang berbulu, lehernya dikalungi rantai, dan hidungnya ditindik dengan emas. 

Rantai di pergelangan tangan dan kakinya berdenting-denting. Ia meneriakkan bunyi suara yang tak ada artinya. Mereka memeluk anak-anak dan membuat wajah mereka jadi hitam. 

"Karakter ini memiliki semua atribut merendahkan orang kulit hitam yang dibayangkan masyarakat rasialis," kata juru bicara kelompok anti-rasialisme Brussels Panthers, Mouhad Reghif, Senin (26/8). 

Brussels Panthers membuat petisi yang ditandatangani lusinan kelompok advokasi dan individu yang menentang parade tersebut. Dalam petisi itu disebutkan karakter wajah yang dicat hitam telah melecehkan dan menghina masyarakat kulit hitam. Mereka menuntut UNESCO untuk mencabut pengakuannya. 

"Ini benar-benar rasialis dan mempertahankan citra buruk orang kulit hitam, yang mana berakibat buruk dalam kehidupan sehari-hari," katanya. 

Surat kabar Belgia Le Soir mengatakan UNESCO menanggapi persoalan tersebut dengan serius dan meminta semua pihak untuk menghormati semua masyakarat. Tapi belum diketahui apakah mereka akan mencabut pengakuan atau tidak. 

Karakter cat kulit hitam tersebut menjadi perdebatan rasialisme di Belgia, serta menjadi perdebatan tentang bagaimana Belgia menanggapi masa lalu kolonial mereka. Wali Kota Ath Bruno Lefebre membantah kritikan tersebut. 

"Sebagian besar orang yang berbicara rasialisme dari luar, sentimen anti-kulit hitam, di Ath, kami tidak mempernah melihat the savage sebagai karakter rasialis," katanya.

"Ini karakter yang disukai masyarakat Ath, ketika salah satu di antara mereka dicium 'the savage', maka dia akan beruntung sepanjang tahun," tambah Lefebre.   

Salah satu penduduk Ath Myriam Carlier yang menonton parade itu memilih the savage. "Saya pikir ini foklor kami, tradisi kami dan saya memilih the savage," katanya. 

Setiap Desember tuduhan yang sama juga disematkan kepada karakter yang dikenal sebagai 'Black Pete'. Karakter itu membantu Santa untuk mengirimkan hadiah untuk seluruh anak-anak di Belgia. Di Belanda tradisi yang sama juga dilakukan. 

Setelah direstorasi selama bertahun-tahun museum Afrika kembali dibuka pada 2018 lalu. Museum itu menimbulkan kontroversi apakah propaganda pro-kolonial sudah diubah untuk mengatasi sejarah kelam Belgia. 

Banyak warga yang tidak peduli dengan betapa kejamnya Belgia selama menjajah Republik Demokratik Kongo, di mana jutaan orang mati karena dipaksa menjadi budak di berbagai pertanian termasuk memanen karet. 

"Karakter the savage adalah ganjalan masalah yang kami miliki di Belgia dengan sejarah kolonialisme negara kami, orang-orang kira, kami membawa peradapan kepada Afrika, mereka harusnya berterima kasih pada kami, yang sebenarnya sangat amat salah," kata Reghif. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement