REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Manuver yang dilakukan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson membuat lawan politiknya hanya memiliki waktu yang sangat sedikit untuk memblokir Brexit yang mungkin digelar tanpa kesepakatan pada 31 Oktober mendatang. Ratu Elizabeth II menyetujui permintaan Johnson untuk membekukan parlemen.
Johnson sebenarnya tidak pernah mengesampingkan langkah tersebut. Tapi waktu yang diambil Johnson melakukannya membuat para Anggota Parlemen yang sebagian besar masih liburan terkejut.
Para Anggota Parlemen marah dengan keputusan Johnson, termasuk John Bercow, ketua House of Commons. Ia tidak diberitahu tentang rencana pembekuan Parlemen tersebut.
"Mematikan Parlemen akan menjadi serangan terhadap proses demokrasi dan hak Anggota Parlemen sebagai wakil yang dipilih rakyat," kata Bercow, Kamis (29/8).
Johnson bersikeras langkah itu dilakukan agar ia bisa menjalankan agenda domestiknya. Mantan wali kota London itu juga membantah mengekang perdebatan. Menurutnya 'masih ada waktu' untuk membahas Brexit dan isu-isu lainnya.
"Tentu di tahap awal kepemimpinannya, perdana menteri harusnya berusaha untuk memantapkan dibandingkan menghancurkan kredensialnya terhadap demokrasi dan komitmennya pada demokrasi parlementer," kata Bercow.
Oposisi utama pemerintahan Johnson yakni Ketua Partai Buruh Jeremy Corbyn menulis surat kepada Ratu. "Untuk memprotes sekeras mungkin atas nama partai saya dan saya yakin semua partai oposisi akan bergabung dengan ini," katanya.
Kerajaan tetap menolak untuk terlibat dalam politik. Parlemen Inggris akan menggelar sidang pada 3 sampai 10 September, lalu reses sampai 9 Oktober. Para anggota Parlemen menyatakan karena krisis Brexit, mungkin reses dibatalkan dan sidang tetap berlangsung.
Johnson mengatakan ia memutuskan untuk meminta Ratu memberikan pidatonya yang menguraikan agenda legislatif pada 14 Oktober. Ratu setuju untuk membekukan Parlemen selama 32 hari antara 12 September sampai 14 Oktober.
Ia menyakinkan dengan itu Anggota Parlemen masih punya waktu yang cukup untuk memblokir langkah Inggris keluar dari Uni Eropa yang dijadwalkan pada 31 Oktober. "Ini prosedur yang benar-benar normal," kata pemimpin House of Commons Jacob Rees-Mogg kepada Sky News.
Anggota Parlemen yang mengawasi kerja perdana menteri atau yang disebut Shadow Chancellor yakin John McDonnell mengkritik langkah ini dengan tajam. Ia menyebutnya sebagai kudeta.
"Apa pun pandangan Anda tentang Brexit, sekali Anda mengizinkan Perdana Menteri untuk mencegah keberlangsungan demokrasi penuh dan bebas dalam institusi demokrasi kami, Anda dalam jalur yang sangat berbahaya," cicitnya di Twitter.
Ketua bidang Brexit Parlemen Eropa Guy Verhofstadt menyebut langkah Johnson 'jahat'. Ia mengungkapkan solidaritasnya kepada Anggota Parlemen Inggris.
"Sebagai sesama anggota parlemen, solidaritas saya untuk mereka yang berjuang suaranya didengarkan, menekan debat terhadap pilihan-pilihan mendalam tidak mungkin membantu menjalankan hubungan Uni Eropa-Inggris yang stabil di masa depan," tulis Verhofstadt di Twitter.