Kamis 29 Aug 2019 09:00 WIB

Langkah PM Inggris Bekukan Parlemen Hadapi Perlawanan

PM Inggris membekukan Parlemen untuk mencegah pemblokiran Brexit.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Bendera Uni Eropa dan bendera Inggris yang ditinggalkan demonstran pro-Brexit di Parliament Square di London, 29 Maret 2019.
Foto: AP Photo/Matt Dunham
Bendera Uni Eropa dan bendera Inggris yang ditinggalkan demonstran pro-Brexit di Parliament Square di London, 29 Maret 2019.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Langkah Perdana Menteri Inggris Boris Johnson membekukan Parlemen mendapat perlawanan. Ratusan orang memadati College Green di luar Gedung Parlemen dan mengibarkan bendera Uni Eropa dan spanduk untuk mengekspresikan kemarahan mereka.

Sementara 25 uskup Gereja Inggris merilis sebuah surat terbuka. Berisi kekhawatiran mereka tentang 'guncangan ekonomi' dari Brexit tanpa kesepakatan atau no-deal terhadap masyarakat miskin dan rentan lainnya.

Baca Juga

Dalam situs pemerintah petisi yang meminta Parlemen tidak dibekukan sudah mendapat 100 ribu tanda tangan, yang menjamin langkah itu dipertimbangkan dalam perdebatan di Parlemen. 

Para anggota Parlemen Inggris juga sudah meminta pengadilan Skotlandia untuk memutuskan pembekuan Parlemen sebagai tindakan ilegal. Jika gagal, legislator pro-Uni Eropa berencana untuk meloloskan undang-undang yang melarang Brexit tanpa kesepakatan, walaupun pemerintah sudah menyempitkan waktu mereka untuk melakukan itu. 

Opsi lainnya memberikan mosi tidak percaya pada pemerintah. Johnson membutuhkan waktu 14 hari untuk mengubah hasil pemungutan suara mosi tidak percaya tersebut. Jika ia gagal maka digelar pemilihan umum tapi pemerintahannya yakin pemilihan umum tidak akan digelar sampai tenggat waktu Brexit yang dijadwalkan pada 31 Oktober. 

Selama 14 hari setelah pemungutan suara mosi tidak percaya, Anggota Parlemen dapat mencari dukungan. Jika mereka berhasil, maka Johnson secara teori harus turun dari jabatannya dan membiarkan pemenang pemilihan umum memimpin pemerintahan.

Namun undang-undang itu baru diperkenalkan pada 2011 dan belum pernah diuji yang membuat peraturan itu masih memiliki banyak celah untuk diperdebatkan. 

"Jika Parlemen dibekukan cocok dengan Boris Johnson, ini tidak hanya membekukan parlemen dari membahas Brexit, kami dapat pergi berperang," kata juru bicara Partai Buruh dalam isu hukum Shami Chakrabarti kepada BBC, Kamis (20/8).  

Pada Selasa (27/8), para oposisi di Parlemen menyatakan akan menggabungkan kekuatan, menghentikan Brexit tanpa kesepakatan. Hal itu menentang Johnson dan janjinya untuk melaksanakan Brexit apa pun yang terjadi. 

"Rakyat akan kerja sama untuk menghentikan pembekuan Parlemen yang tidak konstitusional ini dan kami akan semakin bersatu untuk menghentikan Brexit tanpa kesepakatan," kata Chakrabarti.

Sebanyak 160 Anggota Parlemen sudah menandatangani deklarasi yang berjanji 'melakukan semua hal yang diperlukan' untuk mencegah Johnson melangkahi Parlemen. Dalam kampanyenya bulan lalu, Johnson berjanji untuk membawa Inggris keluar dari Inggris dengan atau tanpa kesepakatan. 

Kepada pemerintah Uni Eropa, Johnson mengatakan tidak mungkin meraih kesepakatan tanpa menghapus bahasa kontroversial 'backstop' yang bertujuan untuk mencegah adanya perbatasan antara Irlandia dan Inggris. Dalam pertemuan G7 di Biarritz, Prancis, ia mengatakan sedikit lebih optimistis dalam proses Brexit tersebut.  

Professor politik internasional  University of Birmingham Scott Lucas mengatakan manuver Johnson membekukan parlemen menjadi krisis konstitusional terbesar sejak Raja Edward VII turun takhta untuk menikahi sosialita Amerika Wallis Simpson. Menurutnya, Perang Dunia II pun tidak separah itu. 

"Ini krisis konstitusional terburuk sejak 1930-an, bahkan Perang Dunia II tidak menghadirikan krisis konstitusional karena koalisi pemerintah dan Parlemen sepakat dengan tata cara mainnya," kata Lucas. 

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement