Jumat 30 Aug 2019 09:05 WIB

Pasukan China Disiapkan untuk Hadapi Demonstrasi Hong Kong

China merotasi pasukan yang ditempatkan di Hong Kong.

Rep: Puti Almas/ Red: Nur Aini
Para pengunjuk rasa yang mengenakan masker gas bereaksi setelah polisi menembakkan gas air mata selama demonstrasi anti-pemerintah di Tsuen Wan, di Hong Kong, Cina, Ahad (25/8).
Foto: EPA-EFE/ROMAN PILIPEY
Para pengunjuk rasa yang mengenakan masker gas bereaksi setelah polisi menembakkan gas air mata selama demonstrasi anti-pemerintah di Tsuen Wan, di Hong Kong, Cina, Ahad (25/8).

REPUBLIKA.CO.ID, SHANGHAI — Tentara China yang ditempatkan di Hong Kong tidak berada di sana untuk tujuan simbolis, seperti yang sempat dikatakan oleh pemerintah negara itu. Namun, mereka akan memiliki alasan untuk tidak hanya duduk diam, jika situasi di kota otonomi itu memburuk, menyusul gelombang demonstrasi yang terjadi sejak Juni lalu. 

Pada Kamis (29/8), China selesai melakukan rotasi rutin pasukan udara, darat, dan laut yang ditempatkan di Hong Kong. Sejak penyerahan kota tersebut kepada China dari Inggris pada 1997, Tentara Pembebasan Rakyat (PLA), sebuah detasemen angkatan bersenjata ditempatkan di sana. 

Baca Juga

Selama ini, PLA terlihat sering melakukan latihan, namun hampir tidak pernah terlihat berada di luar markas angkatan bersenjata itu. Karena itu, sejak rotasi dilakukan, hal itu menjadi penanda bahwa Pemerintah China akan berupaya lebih banyak untuk memadamkan aksi protes yang terjadi di Hong Kong. 

Analis memperkirakan, jumlah garnisun atau kelompok pasukan yang ditempatkan adalah antara 8.000 hingga 10 ribu tentara. Mereka akan dibagi di antara pangkala-pangkalan militer di wilayah selatan China dan jaringan barak di Hong Kong, yang dikendalikan Beijing sebagai Daerah Administratif Khusus (SAR). 

“Sementara, pemerintah SAR belum merasa perlu memanggil garnisun, itu berarti tidak akan dilakukan, hingga situasi menuntutnya,” tulis sebuah artikel media yang dikelola Pemerintah China, China Daily pada Kamis (29/8). 

Artikel itu juga menjelaskan jika situasi semakin memburuk, dengan adanya kekerasan dan membuat keresahan secara luas, maka pasukan bersenjata yang ditempatkan di SAR tidak punya alasan untuk tetap duduk. Garnisun PLA di Hong Kong digarisbawahi sebagai bukan hanya simbol kedaulatan Beijing atas kota itu. 

Dalam hukum yang ditetapkan Konstitusi Hong Kong, pemerintah kota itu dapat meminta bantuan garnisun PLA untuk menjaga ketertiban umum. Namun, pasukan tersebut dipastikan tidak akan melakukan intervensi dalam urusan internal. 

Gelombang protes terjadi di Hong Kong sejak Juni lalu sebagai bentuk penentangan terhadap Rancangan Undang-undang (RUU) yang di dalamnya memungkinkan tersangka dalam suatu kejahatan diekstradisi ke wilayah Cina daratan dan diadili oleh pengadilan yang dikontrol oleh pemerintah pusat China. RUU tersebut dinilai sebagai upaya memperluas dan memperkuat pengaruh Beijing di kota otonom tersebut. 

Aksi itu terus meluas dan menjadi salah satu krisis politik paling serius, sejak Hong Kong dikembalikan ke China oleh Inggris pada 1997, dengan ketentuan ‘satu negara dua sistem’ yang berarti Hong Kong dapat mempertahankan hak-hak khusus untuk kota tersebut. Hal itu juga berarti Hong Kong sepenuhnya memiliki kebebasan yang tidak didapatkan di wilayah Cina daratan, termasuk peradilan yang independen.

Hingga saat ini, kota yang dikenal sebagai pusat bisnis di timur Asia itu berada di ambang resesi terburuk dalam satu dekade. Sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat (AS) mengingatkan agar China tidak melakukan tindakan keras seperti peristiwa Tiananmen pada 1989. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement