REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Direktur Jenderal Kementerian Luar Negeri Israel Yuval Rotem menyambut keputusan Nauru mengakui Yerusalem sebagai ibu kota negaranya. Dia berharap langkah Nauru dapat diikuti negara-negara lainnya.
“Israel menyambut keputusan Republik Nauru mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Tindakan ini mencerminkan kedekatan hubungan dan persahabatan antara Israel dan Nauru,” kata Rotem melalaui akun Twitter pribadinya, Kamis (29/8), dilaporkan laman Aljazirah.
Pada 16 Agustus lalu, Misi Permanen Nauru untuk PBB memberikan surat kepada perwakilan Israel di PBB. Surat itu berisi tentang penghormatan Nauru untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
“Misi Nauru memiliki kehormatan menyampaikan keputusan Pemerintah Republik Nauru untuk secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel,” kata Misi Permanen Nauru untuk PBB dalam suratnya.
Anggota Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina Hanan Ashrawi telah mengecam keputusan Nauru. “Nauru melanggar kewajibannya di bawah hukum internasional dan Piagam PBB serta harus bertanggung jawab atas pelanggaran ini,” ujarnya.
Atas nama kepemimpinan Palestina, dia menyerukan para aktor internasional yang bertanggung jawab memperbarui penolakan universal dan tegas mereka atas semua tindakan Israel di Yerusalem yang diduduki. “Status Yerusalem sebagai kota yang diduduki didukung oleh sebagian besar negara, sejalan dengan kewajiban hukum serta moral mereka untuk menegakkan hukum internasional,” ujar Ahsrawi.
Negara pertama yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel adalah Amerika Serikat (AS). Hal itu dilakukannya pada Desember 2017. Berselang lima bulan kemudian, Washington resmi memindahkan kedutaan besarnya untuk Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Langkah AS diikuti Paraguay dan Guatemala. Namun, Paraguay memilih membatalkan keputusannya dan memindahkan lagi kedutaan besarnya untuk Israel dari Yerusalem ke Tel Aviv.