Senin 02 Sep 2019 10:57 WIB

Netanyahu Kembali Berjanji akan Aneksasi Tepi Barat

Pengumuman tersebut adalah upaya terus menerus untuk menciptakan fait accompli.

Warga Tepi Barat Palestina menaiki tangga untuk menlintasi tembok pemisah yang dipasang Israel untuk shalat jumat di Kompleks Al Aqsa, Jumat (8/6). Mereka dilarang memasuki Yerusalem berdasar batas umur minimal yang boleh memasuki Al Aqsa.
Foto: Alaa Badarneh/EPA EFE
Warga Tepi Barat Palestina menaiki tangga untuk menlintasi tembok pemisah yang dipasang Israel untuk shalat jumat di Kompleks Al Aqsa, Jumat (8/6). Mereka dilarang memasuki Yerusalem berdasar batas umur minimal yang boleh memasuki Al Aqsa.

REPUBLIKA.CO.ID, ELKANA -- Presiden Israel Benjamin Netanyahu kembali mengulang janjinya untuk menganeksasi permukiman Israel di Tepi Barat. Tapi, dalam ancamannya kali ini, ia juga tidak mengungkapkan kapan hal itu akan dilakukan.

"Dengan bantuan Tuhan, kita akan memperluas kedaulatan orang Yahudi di semua permukiman sebagai bagian dari Tanah Air Israel, sebagai bagian dari Negara Israel," kata Netanyahu dalam pidato pembukaan tahun ajaran baru di Elkana, Tepi Barat, Ahad (1/9), mengacu pada lahan Israel dalam kitab Perjanjian Lama.

"Ini tanah kita," katanya. "Kita akan membangun Elkana-Elkana lain." Janji ini pernah Netanyahu katakan saat berkampanye lima bulan yang lalu. Sejak Netanyahu kembali terpilih sebagai perdana menteri, Israel semakin agresif memperluas kekuasaan mereka di Palestina.

Nabil Abu Rudainah, juru bicara untuk Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengritik pernyataan Netanyahu. Menurutnya, pengumuman tersebut adalah upaya terus menerus untuk menciptakan fait accompli yang tidak akan mengarah pada terciptanya perdamaian, keamanan, dan stabilitas.

Data Israel menyebutkan, lebih dari 400 ribu warga Israel kini tinggal di Tepi Barat. Sedangkan, Biro Statistik Palestina menyatakan, ada 2,9 juta jiwa warga Palestina di sana.

Palestina berkeinginan untuk mendirikan negara di Tepi Barat dan Tepi Gaza dengan ibu kota Yerusalem Timur. Ini berdasarkan batas negara sebelum Perang 1967 dan ini diterima sebagai konsensus internasional tentang formula solusi dua negara.

Netanyahu adalah ketua Likud, partai sayap kanan Israel. Dalam pemilihan umum (pemilu) April lalu, Likud gagal meraih suara mayoritas di parlemen dan kini Israel akan menggelar pemilu pada 17 September.

Netanyahu berkuasa sejak 2009. Namun, rekam jejaknya ternoda oleh dugaan korupsi. Ia memperingatkan bahwa Likud harus bangkit dan meraih kemenangan dengan selisih besar. Jika tidak, presiden Israel dapat menunjuk perdana menteri baru untuk membentuk koalisi berkuasa.

Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengakui pencaplokan Israel pada 1981 atas Dataran Tinggi Golan. Wilayah itu awalnya direbut Israel dari Suriah dalam Perang 1967.

Posisi diplomatik Israel juga semakin menguat setelah Honduras dan Nauru mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Pada 16 Agustus lalu Misi Tetap Nauru untuk PBB memberikan surat kepada perwakilan Israel di PBB. Surat itu berisi tentang penghormatan Nauru untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

“Misi Nauru memiliki kehormatan menyampaikan keputusan Pemerintah Republik Nauru untuk secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel,” kata Misi Tetap Nauru untuk PBB dalam suratnya.

Presiden Honduras Juan Orlando Hernandez dikabarkan mengunjungi Israel pada Sabtu. Honduras membuka kantor perdagangan yang akan berfungsi sebagai kantor diplomatik Honduras di Yerusalem.

Kantor diplomatik di wilayah yang penuh gejolak itu akan menjadi perpanjangan tangan dari kedutaan besar Honduras di Tel Aviv. "Bagi saya, ini pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel," kata Hernandez dikutip Arab News, Kamis (29/8). n lintar satria/reuters ed:yeyen rostiyani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement