Selasa 03 Sep 2019 07:53 WIB

Bangladesh Blokir Akses Ponsel Rohingya

Larangan itu akan begitu mempengaruhi kehidupan Rohingya.

Rep: Rosi Handayani/ Red: Dwi Murdaningsih
Barang dan pakaian milik pengungsi yang tersisa di Kamp Pengungsi Rohingya di Cox's Bazar, Bangladesh, (20/9/2017).
Foto: Cathal McNaughton/Reuters
Barang dan pakaian milik pengungsi yang tersisa di Kamp Pengungsi Rohingya di Cox's Bazar, Bangladesh, (20/9/2017).

REPUBLIKA.CO.ID, COX'S BAZAR -- Bangladesh memerintahkan operator untuk menutup layanan ponsel, pada hampir satu juta pengungsi Rohingya, yang tinggal di kamp-kamp, Senin (2/9). Juri bicara Telecommunication Regulatory Commission (BTRC), Zakir Hossain Khan mengatakan, operator telekomunikasi memiliki tujuh hari untuk menyampaikan laporan terkait mematikan jaringan di kamp.

"Banyak pengungsi menggunakan ponsel di kamp. Kami telah meminta operator mengambil tindakan untuk menghentikannya," kata Khan dilansir Channel News Asia, Selasa (3/9).

Baca Juga

Langkah itu diambil menyusul terjadinya kekerasan dalam beberapa pekan terakhir di kamp-kamp. Pemutusan komunikasi juga terjadi setelah tidak ada pengungsi yang muncul pada akhir Agustus untuk kembali melintasi perbatasan ke Rakhine, yang dilanda konflik.

Khan mengatakan, keputusan itu dibuat berdasarkan alasan keamanan. Perintah pemutusan akses telepon mengejutkan Rohingya, salah satu pemimpin mereka menyatakan pendapatnya dengan syarat anonimitas.

Ia mengatakan, larangan itu akan begitu mempengaruhi kehidupan Rohingya. Itu akan mengganggu komunikasi antara berbagai kamp yang tersebar di distrik perbatasan Cox's Bazar. "Kami tidak akan dapat berkomunikasi dengan kerabat kami yang tinggal di Myanmar atau bagian lain dunia," kata pemimpin itu.

Ia mengungkapkan, banyak orang Rohingya mengandalkan remitansi, yang dikirim oleh diaspora. Biasanya, mereka menerima panggilan telepon untuk memberi tahu mereka perihal transfer uang.

Sementara itu, Bangladesh di masa lalu mencoba membatasi akses ponsel di pemukiman. Namun langkah itu tidak ditegakkan secara serius, sebaliknya pasar set ponsel dan kartu SIM di kamp kian besar.

Juru bicara kepolisian, Ikbal Hossain menyambut keputusan tersebut dengan mengatakan, para pengungsi telah menyalahgunakan akses ponsel. Mereka menggunakannya untuk melakukan kegiatan kriminal seperti, perdagangan pil metamfetamin senilai ratusan juta dolar dari Myanmar.

"Itu pasti akan membuat dampak positif. Saya percaya kegiatan kriminal pasti akan turun," kata Hossain.

Pada Ahad (1/9) polisi menyatakan, seorang pengungsi Rohingya keempat ditembak mati. Ini terkait dengan pembunuhan pejabat partai berkuasa setempat, Omar Faruk oleh tersangka Rohingya.

Pembunuhan Faruk menyebabkan ratusan penduduk setempat memblokir jalan raya menuju kamp pengungsi selama berjam-jam pada 22 Agustus. Mereka juga membakar ban, dan merusak toko yang dikunjungi oleh para pengungsi.

Para pengungsi Rohingya mengatakan pertumpahan darah baru-baru ini telah menciptakan suasana ketakutan di kamp. Kelompok-kelompok HAM sebelumnya menuduh polisi Bangladesh melakukan pembunuhan di luar proses hukum.

Di samping itu, polisi setempat mengatakan hampir 600 kasus perdagangan narkoba, pembunuhan, perampokan, perkelahian geng dan perselisihan keluarga diajukan terhadap para pengungsi sejak mereka tiba.

Pasukan keamanan Bangladesh telah menembak mati setidaknya 34 Rohingya selama dua tahun terakhir. Penembakan dilakukan sebagian besar karena dugaan penyelundupan metamfetamin.

Tidak ada reaksi langsung terhadap penghentian layanan telepon dari badan-badan PBB. Akan tetapi seorang pejabat PBB, yang berbicara dengan syarat anonim, mengatakan langkah ini akan semakin mengisolasi dan mengorbankan orang-orang yang sudah dianiaya.

Kedua negara telah menandatangani perjanjian repatriasi pada November 2017. Akan tetapi tawaran pertama untuk kembali ditolak oleh para pemimpin kamp pengungsi pada Oktober.

Penyelidik PBB mengatakan kekerasan 2017 di Myanmar menjamin penuntutan kepada jenderal-jenderal Myanmar karena genosida. Bangladesh pekan lalu menuduh Myanmar yang mayoritas beragama Buddha tidak memiliki keinginan untuk memulangkan Rohingya, setelah upaya terakhir gagal untuk mengembalikan Rohingya.

Rohingya tidak diakui sebagai minoritas resmi oleh pemerintah Myanmar, meskipun banyak keluarga telah tinggal di negara itu selama beberapa generasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement