Selasa 03 Sep 2019 12:55 WIB

Myanmar Diduga Ingin Hapus Identitas Rohingya

Myanmar akan meluncurkan kartu verifikasi nasional yang bisa hapus identitas Rohingya

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Puluhan ribu pengungsi Rohingya memperingati tahun kedua peristiwa genosida Myanmar yang menyebabkan eksodus mereka di Kamp Kutupalong, Cox’s Bazar, Bangladesh, Ahad (25/8).
Foto: Rafiqur Rahman/Reuters
Puluhan ribu pengungsi Rohingya memperingati tahun kedua peristiwa genosida Myanmar yang menyebabkan eksodus mereka di Kamp Kutupalong, Cox’s Bazar, Bangladesh, Ahad (25/8).

REPUBLIKA.CO.ID, NAY PYI DAW -- Organisasi hak asasi manusia (HAM) Fortify Rights mengkritik Myanmar karena meluncurkan skema Kartu Verifikasi Nasional atau The National Verification Card (NVC) untuk Muslim Rohingya. Menurutnya, skema itu adalah kampanye sistematis untuk menghapus identitas mereka. 

"Pemerintah Myanmar sedang berusaha untuk menghancurkan orang-orang Rohingya melalui proses administrasi yang secara efektif menghilangkan hak-hak dasar mereka," ujar Kepala Eksekutif Fortify Rights Matthew Smith pada Selasa (3/9), dikutip laman Aljazirah. 

Baca Juga

Dia menilai, proses itu dan dampaknya terletak pada akar krisis Rohingya. Sebelum hal tersebut diatasi atau ditangani, krisis akan terus berlanjut. 

Fortify Rights telah menerbitkan laporan bertajuk "Tools of Genocide: NVC and the Denial of Citizenship of Rohingya Muslim in Myanmar". Di dalamnya, para aktivis Fortify Rights meneliti serangkaian dokumen identifikasi alternatif yang diberikan kepada Rohingya di Myanmar selama beberapa dekade terakhir. 

Dalam laporan itu, Fortify Rights menyebut proses pengawasan kewarganegaraan semakin membatasi hak-hak para Rohingya, termasuk kebebasan bergerak, akses ke pendidikan dan meta pencaharian, serta kebebasan berekspresi. 

"Proses NVC hanyalah pengulangan kartu administratif yang telah diberikan selama bertahun-tahun kepada Rohingya," ujar John Quinley III, salah satu penulis laporan yang diterbitkan Fortify Rights. 

Selain mengemukakan perspektifnya perihal skema NVC, Fortify Rights juga mendokumentasikan pengakuan Rohingya yang dipaksa untuk menerima kartu tersebut. "Saya dipukuli di mana-mana. Kepala, punggung, dada, dan seluruh tubuh saya," kata seorang petani Rohingya berusia 62 tahun yang diwawancara Fortify Rights. 

Menurut pengakuannya, dia juga diancam. "Jika kamu tidak menerima NVC, kami akan membunuhmu," kata petani itu. 

Laporan menyebut, upaya untuk memaksa Rohingya agar menerima NVC meningkat tepat sebelum penumpasan terhadap warga sipil Rohingya pada 2016 dan 2017. Menurut Fortify Rights bukti telah menunjukkan korelasi positif antara upaya Pemerintah Myanmar memaksa Rohingya menerima NVC dan usaha mereka menghancurkan Rohingya sebagai sebuah kelompok. 

"Temuan ini menunjukkan bahwa proses NVC bukan merupakan respons terhadap krisis di Negara Bagian Rakhine, seperti yang disarankan pemerintah, tapi bagian fundamental dari krisis," kata Fortify Rights dalam laporannya. 

Skema NVC juga telah membuat ratusan ribu pengungsi Rohingya di Bangladesh khawatir. "Pertanyaan pertama pada formulir ini (NVC) adalah, 'Kapan Anda datang dari Bangladesh', diikuti oleh 'Mengapa Anda datang' dan 'Siapa ketua di desa Anda di Bangladesh'," ungkap salah seorang pengungsi Rohingya. 

"Bagaimana kita bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini? Itu berarti mereka secara otomatis menempatkan kita di dalam sangkar. Inilah sebabnya orang-orang tidak mau kembali (ke Rakhine)," kata dia. 

Pengungsi sekaligus pendiri Rohingya Youth Association Khin Maung juga memprotes skema NVC. "Pesan dari komunitas Rohingya sangat jelas, NVC bukan untuk kami. Kami bukan orang asing, kami adalah penduduk asli, dan NVC adalah kartu genosida," ujarnya. 

Khin mengatakan Undang-Undang (UU) Kewarganegeraan 1982 tak menyebut atau mencantumkan perihal NVC. "Tapi Pemerintah Myanmar berusaha menghancurkan komunitas Rohingya dengan kartu ini," ucapnya.

Di bawah UU Kewarganegaraan 1982, hanya anggota dari 135 kelompok etnis nasional yang memiliki hak memperoleh status warga negara. Kelompok-kelompok itu adalah orang-orang yang dianggap telah menetap di Myanmar sebelum 1824, yakni ketika negara itu pertama kali dijajah Inggris. 

"Terlepas dari generasi tempat tinggal di Myanmar, Rohingya tidak dianggap di antara ras pribumi resmi ini dan karenanya secara efektif didepak dari kewarganegaraan penuh," kata Burmese Rohingya Organisation UK yang berbasis di London. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement