Nama adalah doa. Ungkapan ini agaknya dihayati betul oleh orang tua Cendikiawan Suryaatmadja, remaja Indonesia yang mulai berkuliah di Kanada sejak umur 12 tahun.
Diki, panggilan akrab Cendikiawan, tak hanya cemerlang. Ia juga terampil membawa diri di lingkungan barunya yang sebagian besar dipenuhi rekan non-sebaya.
Sejak tiga tahun lalu, Diki resmi menyandang status mahasiswa jurusan Fisika di University of Waterloo Kanada.
University of Waterloo menurut peringkat terbaru merupakan universitas ketujuh terbaik di Kanada, dan peringkat dunianya adalah 173.
Diki adalah yang termuda di antara rekan-rekan sebayanya di kampus.
Hebatnya, menjadi yang termuda di kelas bukanlah hal baru bagi remaja 15 tahun ini.
Guna mengetahui keberadaan dan aktivitas Diki selama tiga tahun terakhir di Kanada, ABC Indonesia menghubungi Diki lewat email.
Dalam percakapan email dalam bahasa Inggris, Diki menceritakan kepada ABC bahwa sejak ia duduk di bangku sekolah dasar (SD), ia telah terbiasa lompat kelas dan hanya menghabiskan 6 tahun untuk menyelesaikan jenjang SD sampai SMA (sekolah menengah atas).
"Aku mulai lompat kelas ketika masih di SD. Aku cuma belajar 3 tahun di SD, 1 tahun di SMP, dan dua tahun SMA," tulisnya dari Kanada, yang berbeda waktu 11 jam di belakang Jakarta dalam percakapan dengan wartawan ABC Indonesia Nurina Savitri.
Ketika ia menginjak usia 9 tahun, Universitas Surya di Tangerang, Banten, menawarinya peluang untuk diajarkan fisika dengan level perguruan tinggi.
"Syaratnya aku harus belajar kalkulus dasar, kalkulus yang diajarkan di tahun pertama kuliah, dalam waktu dua bulan saja."
"Padahal aku enggak pernah belajar kalkulus sebelumnya. Jadi lumayan kerja keras waktu itu."
"Tapi akhirnya berhasil juga," ungkap remaja asal Jawa Barat ini.
Keberhasilan mematahkan kalkulus itu sesungguhnya tak mengherankan jika melihat kecerdasan intelektual (IQ)-nya yang di atas rata-rata, yakni mencapai 189.
Skor itu bahkan melebihi Albert Einstein, sang fisikawan terkenal penemu teori relativitas.
Diki juga sempat mengikuti kompetisi fisika tingkat SMA dan berhasil masuk ke tingkat provinsi.
Ia mengaku berkenalan dengan fisika saat berusia 8 tahun. Perkenalan itu kemudian berlanjut dengan ketertarikan untuk membaca buku teks fisika SMA.
"Penasaran sekali, meski aku sudah suka matematika dari lama," tutur mahasiswa yang belajar hingga 9 jam sehari ini.
Ia juga mengatakan tak ada sosok yang, secara spesifik, mengenalkannya pada fisika.
Meski demikian, jurusan fisika yang saat ini dipilihnya banyak dipengaruhi oleh segelintir orang dalam kehidupannya, seperti guru ilmu pengetahuan alam di sekolahnya dulu.
Lulus SMA di Bogor tahun 2016, Diki memutuskan untuk berkuliah di University of Waterloo, Kanada, dengan beasiswa penuh dari kampus itu.
"Pilih di sana karena beberapa teman dan guru-ku merekomendasikan kampus itu," ujar remaja yang mengaku lebih nyaman untuk berbicara dalam bahasa Inggris ini.
Waterloo, kata Diki, direkomendasikan karena kampus ini termasuk 10 besar kampus terbaik di Kanada dan terkenal akan jurusan sains-nya.
Namun ada alasan lain yang lebih kuat. Sang ibu rupanya telah bertemu langsung dengan profesor fisika di sana dan merasa mantap mempercayakan pendidikan sang putra kepadanya.
Penyuka komik ini memang menyebut sang Ibu sebagai sosok berjasa yang mengenalkannya pada sains.
"Ibuku mengajari aritmatika dasar waktu aku umur dua tahun."
"Karena dia-lah aku bisa berkembang pesat secara akademis sekarang ini," puji Diki tentang sang ibunda, Hannie.
Remaja kelahiran 1 Juli 2004 yang senang mendengarkan musik, ini mengatakan kedua orang tuanya sangat mendukung segala keputusan yang dibuatnya selama ini.
"Mereka berpengaruh besar dalam hidupku dan panutan yang baik," sebutnya.
Saat ini Diki tengah mengerjakan proyek Chirped Pulse Amplification (CPA) atau teknik untuk memperkuat tekanan laser bersama dengan salah satu dosen di kampusnya, yang juga menjadi idolanya, Profesor Donna Strickland.
"Di proyek dengan Profesor Donna, aku kebagian menghitung data dan melihat apakah itu cocok dengan hasil eksperimen," jelasnya di surel kepada ABC.
Penyesuaian diri dan cita-cita
Diki menuturkan, tiga tahun terakhir hidup sebagai mahasiswa telah merubah pribadinya.
"Aku pikir, kemampuan belajar dan sosialku menjadi semakin baik."
"Dulu waktu awal berkuliah, lingkungan di kampus terasa aneh, enggak seperti SMA. Tapi sekarang aku lebih bisa beradaptasi," kata alumnus Sekolah Kesatuan Bogor ini.
Ia juga mengaku tak ambil pusing dengan beberapa teman kuliah, yang menurutnya, memperlakukan dirinya dengan sedikit berbeda.
"Ya aku sadar kebanyakan mahasiswa enggak sering bergaul dengan anak 15 tahun."
"Tapi orang-orang di lingkaran pertemananku memperlakukanku layaknya mereka memperlakukan yang lain," ujar remaja yang berprinsip 'kebahagiaan harus diupayakan' ini.
Uniknya, mahasiswa muda ini mengatakan ia, kini, lebih banyak memiliki teman dibanding ketika masih bersekolah di Indonesia.
Ketika ditanya tentang rencana selepas kuliah sarjana, Diki menjawab ia berkeinginan untuk melanjutkan studi ke jenjang master dan doktoral.
Diki mengatakan dia bertekeda untuk mempermudah hidup manusia dengan menggunakan fisika. Ia juga ingin membangun perusahaannya sendiri di kemudian hari.
Sukses melanglang buana, Diki tetap ingin kembali ke Indonesia. Ia berkeinginan agar lebih banyak pelajar Indonesia dihargai atas bakat dan usaha mereka.
"Karena aku yakin ada banyak pelajar yang luar biasa hebat di sana yang kesulitan, baik secara keuangan atau sistem, yang sebenarnya bisa berprestasi lebih tinggi kalau mereka menerima dukungan dari lingkungan atau pemerintah," katanya kepada ABC.
Simak informasi terkini lainnya dari Indonesia dan dunia di ABC Indonesia dan bergabunglah dengan komunitas kami di Facebook.