Kamis 05 Sep 2019 01:51 WIB

Ilmuwan Ingatkan Curah Hujan Ekstrem Landa Asia Tenggara

Peningkatan curah hujan ekstrem akibat perubahan iklim mengganggu ketahanan pangan.

Petani membawa padi menggunakan terpal saat panen di persawahan yang terendam banjir Desa Gondoharum, Jekulo, Kudus, Jawa Tengah.
Foto: Antara/Yusuf Nugroho
Petani membawa padi menggunakan terpal saat panen di persawahan yang terendam banjir Desa Gondoharum, Jekulo, Kudus, Jawa Tengah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ilmuwan yang menghadiri Asia Pacific Climate Week (APCW) di Bangkok, Thailand, mengingatkan perubahan iklim akan menimbulkan peningkatan curah hujan ekstrem di Asia Tenggara. Kondisi itu akan memengaruhi ketahanan pangan regional.

Dalam acara yang dimulai 2 September dan akan berakhir 6 September itu, para ilmuwan mengemukakan peningkatan insiden curah hujan ekstrem akan mengganggu produksi pertanian. Hal ini akan membawa dampak buruk bagi ketahanan pangan kawasan.

Baca Juga

"Dalam skenario pemanasan 1,5 derajat Celsius, Asia Tenggara akan mengalami peningkatan presipitasi sebesar 70 persen. Sementara bila pemanasan global mencapai dua derajat Celsius, akan ada peningkatan 10 persen dalam presipitasi ekstrem," kata Lourdes V Tibig, penulis utama Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim dan anggota Panel Ahli Teknis Nasional Komisi Perubahan Iklim Filipina, dalam siaran pers APCW yang diterima di Jakarta, Rabu (4/9).

"Hal tersebut akan berdampak besar pada pertanian," ia menambahkan.

Asia Tenggara merupakan salah satu produsen beras terbesar di dunia setelah India dan China. Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutkan pada 2050 hasil panen akan berkurang 25 persen bila penduduk bumi tidak mengatasi isu perubahan iklim sejak sekarang.

"Angka-angka tidak berbohong, diperlukan kolaborasi para ilmuwan di Asia Tenggara untuk mengatasi bersama," kata Lourdes.

Oleh karena itu,ia mengatakan, kelompok ilmuwan iklim, kehutanan, dan pertanian dari Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam sepakat berkolaborasi dalam penelitian untuk menghadapi peningkatan ancaman perubahan iklim. Menurut dia, para ilmuwan ingin meletakkan dasar bagi jaringan regional untuk menggunakan sains sebagai dasar strategi pembangunan jangka panjang.

"Kita harus menyadari kerentanan kita. Tingkat kesiapan dalam menghadapi dampak perubahan iklim di antara negara-negara di Asia Tenggara berbeda. Dengan saling berbagi cara kerja, kita dapat secara kolektif mengatasi kesenjangan pengetahuan yang ada di wilayah ini," kata Ketua Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia Mahawan Karuniasa.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement