REPUBLIKA.CO.ID, PATTANI -- Militer Thailand berusaha keras memerangi penyelundupan narkoba dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang rawan terjadi di perbatasan negara bagian selatan yaitu Provinsi Pattani, Yala dan Narathiwat.
"Ada kelompok-kelompok yang memanfaatkan situasi sosial di perbatasan untuk memperlancar kejahatannya," kata Komandan Divisi Administrasi Pelaksana Keamanan Dalam Negeri Bagian 4 Thailand, Letnan Jenderal Infanteri Pornsak Pulsawas di Pattani, Thailand, Jumat (6/9).
Menurut dia, situasi keresahan di kawasan provinsi Thailand selatan disebabkan kelompok yang berbeda pendapat dengan melakukan kekerasan supaya kehidupan masyarakat tidak kondusif. "Masalah itu antara lain narkoba, penyelundupan dan perdagangan manusia. Semua itu berhubungan dengan kekerasan yang terjadi di Thailand selatan," ujar Pornsak.
Kelompok-kelompok yang menentang pemerintah, kata dia, dalam melakukan bisnis kriminalnya mempengaruhi stabilitas keamanan dan perekomonian di kawasan tersebut. "Namun, penegakan hukum kepada kelompok-kelompok kriminal terus dilakukan dengan prinsip tidak menggangu aktivitas warga," kata Pornsak.
Jenderal bintang tiga ini menyebutkan, provinsi yang berada di perbatasan Thailand selatan bukan merupakan daerah konflik bersenjata tetapi menjadi daerah dimana beberapa kelompok melakukan kekerasan. "Kita mencoba sepenuhnya menghilangkan kekerasan dan membawa keharmonisan hidup bermasyarakat di provinsi perbatasan Thailand selatan," ujarnya.
Tiga provinsi di Thailand bagian selatan sebagian besar atau 82 persen penduduknya keturunan Melayu beragama Islam, sementara sisanya keturunan China, Thailand, dan India. Namun, kata dia, pemerintah Thailand mengingatkan setiap orang adalah warga Thailand.
"Dalam melaksanakan tugas di tiga provinsi perbatasan Thailand selatan, kami membawa filosofi kerajaan, 'Mengerti, Menjangkau, Berkembang'. Filosofi 'Ekonomi Berkecukupan' juga menjadi pokok strategi untuk memecahkan masalah yang berkembang," ucap Pornsak.
Pemerintah Thailand juga fokus mengimplementasikan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan terhadap kaum minoritas. "Walaupun daerah provinsi perbatasan di Thailand kebanyakan masyarakat memeluk agama Islam, tetapi setiap orang diberikan kesamaan berbagai bidang agama. Undang-Undang Dasar Thailand menentukan setiap orang Thailand bisa memeluk agama dengan sukarela, tidak ada halangan melakukan aktivitas agama dan gencarkan sikap mendukung setiap orang bisa melaksanakan aktivitas agama," kata Pornsak.
Rehabilitasi narkoba
Untuk mengatasi penyalahgunaan narkoba, pemerintah Thailand pun membangun pusat rehabilitasi bagi pengguna narkoba di Provinsi Yala, Thailand selatan yang disebut sebagai "Camp 35".
Kamp atau pusat rehabilitasi yang berada dalam markas militer di Provinsi Yala, Thailand Selatan ini diperuntukkan bagi para pengedar dan pengguna narkoba yang umumnya adalah anak-anak muda. Dipilihnya markas militer sebagai tempat rehabilitasi karena dinilai aman, tidak mendapat gangguan, mudah diawasi dan memiliki fasilitas yang lengkap sehingga mereka merasa aman saat mengikuti rehabilitasi selama 35 hari.
Asisstent District Chief Officer, Chakrit Jara-ae menjelaskan, pembentukan Camp 35 ini bertujuan untuk mengembalikan para pecandu narkoba agar bisa kembali hidup normal di masyarakat. "Ini merupakan salah satu kegiatan mengembangkan dan memberdayakan anak-anak muda yang merupakan generasi bangsa," katanya.
Saat ini, tercatat ada 60 orang yang mengikuti kegiatan di Camp 35. Tidak ada perempuan dalam kamp ini, mereka yang mengikuti rehabilitasi seluruhnya adalah laki-laki. Mayoritas dari mereka beragama Islam, yakni, 46 orang sedangkan sisanya beragama Budha.
Karena 90 persen Muslim, maka kegiatan dilakukan sejak pagi hari mulai dari bangun pagi, shalat subuh, olahraga, makan, mengikuti pengajian dan sebagainya. Termasuk pelatihan yang diberikan oleh Kementerian Kesehatan dan pengetahuan tentang hukum dari aparat kepolisian.
"Sore hari ada kegiatan olahraga, ada juga kerajinan. Kegiatan itu diulang setiap hari supaya kalau mereka keluar dari sini ada bekal keterampilan. Ini dilakukan selama 35 hari, setelah itu selesai pelatihannya," ujarnya.
Mereka yang datang ke kamp ini, kata dia, ada yang kesadaran sendiri. Namun, ada juga yang diserahkan oleh orang tuanya kepada tim di lapangan yang sedang bertugas memberikan pemahaman mengenai bahaya narkoba di masyarakat.
"Mereka (tim) turun ke lapangan bertemu orang tua. Ada juga orang tua yang mengakui dan menyatakan kalau anaknya pecandu narkoba. Selanjutnya, anaknya dibawa ke camp ini untuk mengikuti rehabilitasi," katanya.