REPUBLIKA.CO.ID, ABU DHABI -- Arab Saudi ingin memperkaya uranium di masa depan sebagai bahan bakar program pembangkit listrik tenaga nuklir yang direncanakannya. Rencana tersebut adalah langkah sensitif yang dapat membuat rumit keterlibatan AS di dalamnya.
Pengekspor minyak utama dunia itu telah menyampaikan keinginannya menggunakan logam guna meragamkan energi campuran, tapi pengayaan uranium juga membuka kemungkinan bagi penggunaan bahan itu untuk militer. "Kami melanjutkannya dengan hati-hati. Kami menguji coba dua reaktor nuklir," kata Menteri Energi Saudi Pangeran Abdulaziz bin Salman, Senin (9/9).
a merujuk kepada rencana mengeluarkan tender buat dua reaktor tenaga nuklir pertama negara Teluk tersebut. Ia mengatakan satu konferensi energi di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, akhirnya kerajaan itu ingin melanjutkan dengan lingkaran penuh program nuklir, termasuk produksi dan pengayaan uranium buat bahan bakar.
Tender tersebut direncanakan dikeluarkan pada 2020, dengan perusahaan AS, Rusia, Korea Selatan, China dan Prancis terlibat dalam pembicaraan awal mengenai proyek multi-miliaran-dolar AS itu. Tapi masalah pengayaan uranium telah menjadi masalah rumit dengan Washington, terutama setelah Putra Mahkota Mohammed bin Salman mengatakan pada 2018 Saudi akan mengembangkan senjata nuklir jika pesaing regionalnya, Iran, memilikinya.
Arab Saudi telah mendukung aksi tekanan maksimum Presiden AS Donald Trump terhadap Iran, setelah ia mengeluarkan Amerika Serikat dari kesepakatan nuklir 2015, yang mengekang program nuklir Iran. Para pejabat Arab Saudi telah mengatakan mereka takkan menandatangani kesepakatan yang akan melucuti kerajaan itu dari kemungkinan memperkaya uranium atau memproses-ulang bahan nuklir bekas pada masa depan. Keduanya adalah jalur potensial bagi pembuatan bom.