REPUBLIKA.CO.ID, ABU DHABI -- Amerika Serikat (AS) akan tetap memberikan sanksi kepada siapa pun yang membeli minyak Iran atau berbisnis dengan Garda Revolusi negara itu. Pemerintah AS menegaskan tidak mengeluarkan kembali keringanan yang sempat diberikan kepada pembeli minyak Iran.
Ketika Presiden AS Donald Trump menarik negaranya dari kesepakatan nuklir atau Joint Comprehensive Plan OF Action (JCPOA) yang disusul sanksi ekonomi terhadap Iran. Ekspor minyak mentah Iran terpangkas 80 persen.
"Kami akan melanjutkan untuk memberikan tekanan kepada Iran dan seperti Presiden (Trump) katakan tidak akan ada keringanan apa pun untuk minyak Iran," ujar Sekretaris Menteri Keuangan bidang Terorisme dan Intelijen Finansial, Sigal Mandelker, Senin (9/9). Mandelker menambahkan, karena sanksi AS, penjualan minyak Iran "menukik dengan tajam".
Pada Ahad, Iran mengatakan, kapal tanker Adrian Darya 1 yang disita Inggris di Gibraltar bulan Juli lalu sudah berlabuh di suatu tempat di wilayah Mediterania. Kapal itu ditahan karena telah melanggar sanksi Uni Eropa terhadap Suriah.
Pada bulan lalu kapal tanker yang masuk daftar hitam Kementerian Keuangan AS itu menghilang dari radar. Foto satelit menunjukkan kapal tersebut berada di pelabuhan Tartus, Suriah.
"Ini bukan hanya tentang kapal tanker, ini peringatan keras bagi seluruh perusahaan di dunia, perusahaan dan pemerintah memahami mereka harus memilih antara berbisnis dengan Iran atau berbisnis dengan AS. Ini tidak sulit," kata Mandelker.
Trump keluar dari JCPOA karena menilai JCPOA lebih banyak menguntungkan Iran. Ia pun menerapkan kembali sanksi yang mencekik perdagangan minyak dan memaksa Iran menerima batasan yang lebih ketat untuk aktivitas nuklir mereka. Trump juga ingin Iran membatasi program pengembangan rudal dan berhenti mendukung salah satu kelompok atau poros di Timur Tengah.
Sebagai balasan Iran, mengurangi komitmen mereka terhadap JCPOA. Iran menekan negara-negara Eropa yang ingin memepertahankan kesepakatan itu untuk melindungi perekonomian dan kepentingan Teheran. n lintar satria/reuters ed: yeyen rostiyani