REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS – Uni Eropa mengatakan, tidak akan mengakui setiap langkah atau upaya yang akan mengubah status Yerusalem. Hal itu disampaikan dalam rangka merespons rencana Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menganeksasi sebagian Tepi Barat, termasuk Lembah Yordan dan Laut Mati utara.
“Sebagaimana ditegaskan kembali dalam berbagai kesimpulan Dewan Urusan Luar Negeri, Uni Eropa tidak akan mengakui perubahan apa pun terhadap perbatasan pra-1967, termasuk yang berkaitan dengan Yerusalem, selain yang disepakati oleh para pihak,” kata seorang juru bicara Uni Eropa pada Rabu (11/9), dikutip laman Anadolu Agency.
Dia menegaskan bahwa setiap kebijakan pembangunan permukiman dan ekspansi di Tepi Barat, termasuk di Yerusalem Timur, adalah ilegal berdasarkan hukum internasional. Oleh sebab itu, hal tersebut akan merusak kelangsungan solusi dua negara dan prospek perdamaian permanen Israel-Palestina.
Pada Selasa lalu, Netanyahu mengutarakan niatnya untuk mencaplok Lembah Yordan dan Laut Mati utara. Dia mengatakan akan merealisasikan hal itu bila partainya, Likud Party, memenangkan pemilu Israel pada 17 September mendatang.
"Hari ini saya mengumumkan niat saya, setelah pembentukan pemerintah baru, untuk menerapkan kedaulatan Israel ke Lembah Yordan dan Laut Mati utara," kata Netanyahu.
Dia meminta dukungan kepada segenap warga Israel untuk mewujudkan rencananya. "Segera setelah pemilu, jika saya menerima mandat yang jelas untuk melakukannya dari kalian, warga Israel," ujarnya.
Netanyahu pun menegaskan kembali janjinya untuk mencaplok semua permukiman yang telah dibangun Israel di Tepi Barat yang diduduki. Namun, langkah yang lebih luas bisa memakan waktu lebih lama serta membutuhkan koordinasi maksimal dengan Amerika Serikat (AS) selaku sekutu dekat Israel.
"Karena menghormati Presiden (AS Donald) Trump dan sangat percaya pada persahabatan kami, saya akan menunggu penerapan kedaulatan (terhadap permukiman Israel di Tepi Barat) sampai dirilisnya rencana politik presiden," kata Netanyahu merujuk pada rencana perdamaian Israel-Palestina yang digagas Washington.
Rencana Netanyahu mencaplok Lembah Yordan dan Laut Mati utara telah memantik kemarahan negara-negara Arab. Dalam pertemuan yang dihelat di Kairo, Mesir, pada Rabu, para menteri luar negeri negara anggota Liga Arab sepakat bahwa rencana Netanyahu merupakan perkembangan berbahaya dan agresi baru Israel untuk melanggar hukum internasional.
"Liga Arab menganggap pernyataan-pernyataan ini merongrong peluang kemajuan dalam proses perdamaian (dengan Palestina) dan akan menghancurkan seluruh fondasinya," kata para menteri luar negeri negara anggota Liga Arab dalam sebuah pernyataan bersama, dikutip laman Haaretz.
Sebanyak 650 ribu orang Yahudi Israel saat ini tinggal di lebih dari 100 permukiman yang dibangun sejak 1967, ketika Israel menduduki Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Rakyat Palestina memandang wilayah itu --bersama dengan Jalur Gaza-- sebagai bagian utuh bagi pendirian Negara Palestina pada masa depan.
Hukum internasional memandang Tepi Barat dan Yerusalem Timur sebagai "wilayah Palestina yang diduduki" dan menganggap semua kegiatan permukiman Yahudi di sana tidak sah. Dalam sebuah langkah yang tidak pernah diakui oleh komunitas internasional, Israel mencaplok seluruh kota pada 1980, dan mengklaimnya sebagai ibu kota negara "abadi dan tak terbagi" yang diproklamirkan oleh mereka.
Yerusalem tetap menjadi jantung perselisihan Timur Tengah yang telah berlangsung puluhan tahun, dengan warga Palestina berharap bahwa Yerusalem Timur suatu hari nanti akan berfungsi sebagai ibu kota negara Palestina.