Sabtu 14 Sep 2019 06:02 WIB

Permukiman Yahudi di Yerusalem Timur Melonjak

Kenaikan permukiman Yahudi di Yerusalem sejak Donald Trump menjabat pada 2017.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Pembangunan permukiman ilegal Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.
Foto: EPA
Pembangunan permukiman ilegal Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Pembangunan permukiman Yahudi di Yerusalem Timur dilaporkan melonjak. Hal itu terjadi sejak Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mulai menjabat pada 2017. 

Hal itu dikemukakan organisasi anti-permukiman Israel, Peace Now. Menurut organisasi itu, dalan dua tahun pertama pemerintahan Trump, otoritas Israel menyetujui pembangunan 1.861 unit rumah di Yerusalem Timur. 

Baca Juga

Jumlah itu meningkat 60 persen dibandingkan dua tahun sebelumnya, di mana otoritas Israel hanya menyetujui pembangunan 1.162 unit rumah. Peace Now mengungkapkan, pada 2017 Israel menerbitkan izin pembangunan 1.081 unit rumah di Yerusalem Timur. Itu merupakan jumlah tertinggi sejak 2000. 

Seorang pakar yang mengumpulkan dan menganalisis data tentang pembangunan permukiman Israel di Yerusalam, Hagit Ofran menjelaskan, ketidaksesuaian perizinan terjadi pada 1967. Saat itu, Israel memperluas batas-batas kota untuk mencaplok daerah-daerah besar di tanah terbuka yang diperuntukkan bagi permukiman Yahudi. 

Pada saat yang sama, perencanaan kota menetapkan batas-batas lingkungan Palestina dengan tujuan mencegah mereka berkembang. "Dalam visi perencanaan Yerusalem, tidak ada perencanaan untuk perluasan permukiman Palestina," ujar Ofran. 

Karena kesulitan memperoleh izin, warga Palestina akhirnya kerap membangun rumah atau permukiman tanpa persetujuan otoritas Israel. Peace Now mencatat, terdapat sekitar 40 ribu rumah warga Palestina di Yerusalem Timur yang dibangun tanpa izin. 

Ofran mengatakan, ketika warga Palestina membangun rumah tanpa izin, mereka dibayangi penggusuran. "Ketika Anda membangun secara ilegal, tanpa izin, selalu ada kemungkinan rumah Anda akan dihancurkan," ujarnya. 

Kelompok hak asasi manusia Israel, B'Tselem mengatakan setidaknya 112 unit rumah di Yerusalem Timur telah dihancurkan dalam tujuh bulan pertama 2019. Jumlah itu lebih besar jika dibandingkan setahun penuh terhitung sejak 2004. 

Jamil Masalmeh (59 tahun) adalah salah satu warga Palestina yang rumahnya telah dihancurkan. Dia tinggal di lingkungan Silwan, Yerusalem Timur. Masalmeh mengungkapkan, sejak 20 tahun lalu dia telah berusaha memperoleh izin otoritas Israel untuk mendirikan rumah.

Namun, dia tak pernah memperolehnya. Masalmeh pun nekat membangun rumah tanpa izin. Tapi delapan tahun lalu, otoritas Israel memerintahkannya untuk membongkarnya. 

Masalmeh kemudian membangun rumahnya kembali. Sama seperti sebelumnya hal itu dilakukan tanpa izin. Awal pekan ini Israel kembali memaksa dia untuk membongkarnya. 

Israel memberinya dua opsi; Masalmeh membongkarnya sendiri atau membayar jasa 20 ribu dolar AS agar otoritas Israel yang melakukannya. 

"Mereka mengatakan Anda tidak dapat membangun di tanah ini. Mengapa? Tidak ada jawaban. Saya akan mati sebelum mendapatkan izin," ujar Masalmeh. 

Saat ini, terdapat sekitar 215 ribu Yahudi yang tinggal di Yerusalem Timur. Sementara 340 ribu warga Palestina di sana kian dijejalkan ke lingkungan yang kian padat di mana hanya ada sedikit ruang untuk membangun. Pada 17 September mendatang Israel akan menggelar pemilu. Warga Palestina yang tinggal di wilayah Israel berharap dapat berpartisipasi agar nasib mereka berubah. Namun, banyak warga Palestina yang tidak mendapatkan hak pilih. 

Saleh adalah satu di antara 2,5 juta warga Palestina yang tak memiliki hak suara. Dia mengatakan selama ini ruang gerak warga Palestina dibatasi. Saleh bahkan tak dapat mengajak keluarganya berlibur ke pantai karena otoritas Israel tidak mengizinkannya.

Beberapa tahun lalu, Saleh sempat mengajak keluarganya berlibur ke Yordania. Saat berada di sana, mereka menyempatkan diri berkunjung ke pantai. "Anak-anak saya heran ketika mereka melihat laut. Mereka bilang, 'apa itu?'" kata dia mengenang momen tersebut. 

Saleh mengaku tak terlalu tertarik pada politik. Dia hanya berharap dapat lebih mudah mengajak keluarganya berlibur ke pantai. 

Di tengah kesulitan warga Palestina di wilayah yang diduduki, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah mengumbar janji untuk mencaplok Lembah Yordan dan Laut Mati utara. Hal itu dinilai taktik untuk memenangkan partainya, Likud Party. 

"Hari ini saya mengumumkan niat saya, setelah pembentukan pemerintah baru, untuk menerapkan kedaulatan Israel ke Lembah Yordan dan Laut Mati utara," kata Netanyahu pada Selasa lalu. 

Dia meminta dukungan kepada segenap warga Israel untuk mewujudkan rencananya. "Segera setelah pemilu, jika saya menerima mandat yang jelas untuk melakukannya dari kalian, warga Israel," ujarnya. 

Netanyahu pun menegaskan kembali janjinya untuk mencaplok semua permukiman yang telah dibangun Israel di Tepi Barat yang diduduki. Namun, langkah yang lebih luas bisa memakan waktu lebih lama serta membutuhkan koordinasi maksimal dengan Amerika Serikat (AS) selaku sekutu dekat Israel. 

"Karena menghormati Presiden (AS Donald) Trump dan sangat percaya pada persahabatan kami, saya akan menunggu penerapan kedaulatan (terhadap permukiman Israel di Tepi Barat) sampai dirilisnya rencana politik presiden," kata Netanyahu merujuk pada rencana perdamaian Israel-Palestina yang digagas Washington. 

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement