REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Gerilyawan Houthi di Yaman melancarkan serangan drone ke pabrik pengolahan minyak terbesar di dunia dan ladang minyak di Arab Saudi. Serangan ini memicu kebakaran hebat dan menghentikan setengah pasokan minyak negara itu.
Serangan drone ke infrastruktur minyak Arab Saudi ini menjadi serangan yang paling merusak. Serangan tersebut meningkatkan kekhawatiran terganggunya pasokan minyak dan ketegangan antara Amerika Serikat dan Iran di Teluk Persia yang sudah tinggi.
"Serangan ini mmebuat operasi produksi di pabrik pengolahan minyak Abqaif dan ladang minyak Khurais ditangguhkan sementara waktu," kata Menteri Energi Arab Saudi Pangeran Abdulaziz bin Salman dalam pernyataannya seperti dikutip kantor berita Saudi Press Agency, Ahad (15/9).
Dalam pernyataan itu Pangeran Abdulaziz mengatakan api sudah berhasil dikendalikan dan tidak ada pegawai yang terluka. Api menginterupsi pasokan sekitar 5,7 juta barel minyak mentah. Ketimpangan itu akan diimbangi dengan cadangan minyak.
Pernyataan itu mengatakan perusahaan minyak milik negara Saudi Aramco akan memberikan informasi terbaru dalam 48 jam ke depan. Pemberontak Houthi di Yaman didukung Iran.
Mereka berperang dengan koalisi Arab Saudi di Yaman sejak 2015. Arab Saudi ingin mengembalikan pemerintahan yang diakui masyarakat internasional setelah Houthi merebut ibu kota Sana'a pada 2014. Menteri Luar Negeri AS Mike Pompoe menyalahkan Iran.
"Tidak ada bukti serangan datang dari Yaman, sekarang Iran meluncurkan serangan yang tidak pernah dilakukan sebelumnya ke pasokan energi dunia," cicit Pompeo di Twitter.
Dalam sebuah pernyataan singkat di stasiun televisi Houthi, Al-Masirah, juru bicara kelompok itu Yahia Sarie mengatakan kelompoknya meluncurkan 10 drone setelah menerima dukungan intelijen dari dalam Arab Saudi. Ia memperingatkan serangan akan semakin memburuk jika perang terus berlanjut.
"Satu-satunya pilihan pemerintah Arab Saudi harus berhenti menyerang kami," kata Sarie.