Ahad 15 Sep 2019 14:25 WIB

Prospek Ekonomi Palestina Semakin Suram

UNCTAD merilis kondisi terbaru ekonomi Palestina.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Dwi Murdaningsih
Warga Palestina berlarian saat tentara Israel menembak dengan gas air mata di Jalur Gaza, Selasa (3/4).
Foto: AP Photo/Adel Hana
Warga Palestina berlarian saat tentara Israel menembak dengan gas air mata di Jalur Gaza, Selasa (3/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), organisasi utama Majelis Umum PBB yang menangani isu perdagangan, investasi dan pembangunan, merilis laporan terbarunya soal kondisi ekonomi Palestina. Laporan itu menyebut, kebuntuan fiskal dengan Israel dapat menyebabkan runtuhnya keuangan Palestina.

Dilansir dari kantor berita Palestina, Wafa, Ahad (15/9), pada 2018 hingga awal 2019, ekonomi Palestina mengalami stagnasi. Pendapatan per kapita turun sebesar 1,7 persen, pengangguran meningkat, dan kemiskinan semakin dalam. Jumlah pendudukan lingkungan di wilayah Palestina yang diduduki, seperti Gaza dan Tepi Barat termasuk Yerusalem timur, juga meningkat.

Baca Juga

Prospek ekonomi jangka pendek untuk Palestina terbilang suram. Tidak ada tanda-tanda tren negatif ini akan segera berbalik. Laporan UNCTAD menyebut, satu dari tiga warga Palestina menganggur. Di Gaza, tingkat pengangguran di atas 50 persen. Tingkat kemiskinan telah mencapai 53 persen, meski ada bantuan dari pemerintah dan organisasi internasional.

UNCTAD mencatat, alasan di balik hampir runtuhnya ekonomi Palestina adalah ekspansi dan pengetatan cengkeraman pendudukan, tercekiknya ekonomi lokal Gaza. Penurunan 6 persen dana bantuan antara 2017 dan 2018, memburuknya situasi keamanan dan kurangnya kepercayaan diri sebagai imbas dari kondisi politik memperburuk ekonomi Palestina.

Sektor pertanian dan manufaktur secara tidak proporsional terkena dampaknya. Defisit perdagangan besar-besaran yang terjadi kemudian berdampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi.

Dalam rentang 1994-2018, pangsa manufaktur dalam perekonomian menyusut dari 20 persen menjadi 11 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sedangkan pangsa pertanian dan perikanan turun dari 12 persen lebih menjadi kurang dari 3 persen.

Kelangsungan hidup dan daya saing produsen Palestina dirusak oleh sistem pembatasan fisik dan administrasi berlapis-lapis yang diterapkan oleh kekuatan pendudukan. Di Tepi Barat, 705 penghalang fisik permanen membatasi pergerakan pekerja dan barang-barang Palestina. Penghalang fisik ini yaitu pos pemeriksaan, gerbang, gundukan tanah, penghalang jalan dan parit.

Laporan itu mencatat bahwa pendudukan mengisolasi orang-orang Palestina dari pasar internasional. Dampaknya, keadaan ini memaksa Palestina bergantung pada Israel, di mana menyumbang 80 persen dari ekspor Palestina dan memasok 58 persen dari impornya.

Palestina menduduki peringkat keempat di antara pasar ekspor utama Israel, tepat di belakang Amerika Serikat, Cina, dan Inggris. Namun posisi Palestina sebagai pasar ekspor Israel berada di atas Prancis, Jerman, dan India.

Laporan UNCTAD juga menunjukkan bahwa pendudukan telah mencegah rakyat Palestina untuk mengembangkan sumber daya minyak dan gas alam di Gaza dan Tepi Barat. Walhasil, akumulasi kerugian diperkirakan bernilai miliaran dolar dan biaya peluang terkait pengembangan yang hilang sangat mengejutkan.

Semakin lama situasi ini berlanjut, maka semakin tinggi pula biaya ini. Total biaya ekonomi pendudukan yang ditanggung oleh rakyat Palestina pun akan terus meningkat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement